Proses pembelajaran dalam masa pandemi ini memang masih bisa berlangsung dan berjalan dengan model pembelajaran jarak jauh (PJJ), tetapi dari sisi rasa, nuansa dan semangatnya sangat jauh berbeda. Bercampur bermacam rasa berkecamuk dalam dada, ada emosi yang tertahan, ada rindu yang terpendam, ada juga galau tak karuan karena berada dalam ketidak-kepastian. Pandemi yang semula diprediksi dan diharapkan segera berlalu ternyata berkepanjangan dan tak tahu akan sampai kapan. Sungguh, guru tanpa murid serasa kosong, gelap gulita ibarat langit mendung yang tak berbintang, harapan seakan hampa seperti tak bersambutnya cinta seorang prajurit pada seorang gadis yang ternyata putri raja. Murid adalah nafas bagi kehidupan seorang guru, wahana berbagi asa kehidupan, tempat mencurahkan perhatian dan kasih sayang untuk berbagi ilmu, pengetahuan, keterampilan dan spiritual. Tanpa murid, maka guru akan banyak kehilangan nilai-nilai kehidupan, termasuk citra dan marwahnya.
Marwah guru itulah yang sekarang sedang berangsur pudar, diterjang pandemi yang mengoyak-ngoyak dunia pendidikan menjadi terlihat ambyar. Hal ini sangat terasa ketika beberapa pekan yang lalu penulis bertemu dan berbagi cerita dengan seorang teman seperjuangan, yang pernah bekerja bersama dalam waktu yang cukup lama. Sekitar 20 tahun lalu penulis sering ikut bekerja dalam beberapa proyek bangunan, dimana penulis menjadi pembantu tukang (laden) sementara teman tersebut adalah salah satu tukang di antara tukang senior lainnya. Dalam berbagi cerita itu ada satu kalimatnya yang terasa mengaduk-aduk rasa, "enak ya jadi guru, ora bendino kerjo tapi bayare podo", artinya "enak ya jadi guru, tidak tiap hari kerja tapi gaji tetap sama". Kalimat itu disampaikan dengan lugas, lepas tanpa beban dan tanpa rasa sungkan karena merasa dekat, merasa pernah sama-sama bekerja kasar di proyek bangunan. Penulis yang pernah hidup kasar bersama mereka sungguh terhenyak dengan kata-kata itu, dan nyatanya apa yang dikatakannya sedikit banyak ada benarnya. Itulah kesan yang muncul di masyarakat terkait dengan marwah guru di masa pandemi.
Di masa pandemi marwah guru terasa menurun cukup drastis, karena dipandang sebagai pihak yang diuntungkan. Bisa jadi ini berawal dari adanya penampakan yang ekstrim di sekolah antah berantah, kecamatan mega hitam, kabupaten gelap gulita, dimana situasi sekolah yang lebih banyak terlihat sepi, tak nampak guru dengan aktifitas yang wajar sesuai tanggung jawabnya. Beberapa bahkan tak canggung berpenampilan layaknya seorang pensiunan, juragan atau pengusaha yang sedang liburan. Jarang berangkat ke sekolah, seperti bukan seorang guru, pagi hari sudah keliling melihat sawah garapan, sekali berangkat sudah jam 9, dan jam 11 bingung ingin segera menghilang untuk pulang, inilah yang menjadi indikasi kinerja guru dinilai menurun. Dampak yang muncul kemudian adalah kecemburuan sosial terhadap guru yang seakan-akan guru sangat enak, bebas tugas karena tidak berangkat ke sekolah, tidak perlu ongkos bisa, tidak keluar bensin tapi penghasilan tetap mengalir. Seakan guru adalah profesi yang diistimewakan, yang pendapatannya tidak terpengaruh oleh adanya pandemi terutama guru PNS. Sebagai seorang guru yang masih memiliki hati nurani, guru yang dilengkapi intuisi dan kepekaan rasa, kita tidak layak untuk menutup mata dan telinga, apalagi berlagak dan berargumen untuk membela dan menyucikan diri. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh guru di tengah pandemi ini, apakah menikmati saja kesempatan yang ada atau bersikap lain yang rasanya tidak sejalan dengan keinginan menikmati kehidupan.
Menikmati kehidupan yang nyaman bagi seorang guru adalah manusiawi, yang juga membutuhkan berbagai kenikmatan dan kebahagiaan, sama seperti manusia lain pada umumnya. Tatkala melihat orang lain yang enjoy dan seakan bebas tanpa beban, hadir juga rasa capek merasakan beban kerja yang terasa susul menyusul. Di saat seperti itu terkadang hadir "bisikan" mengapa harus bersusah payah, enakan ikut santai-santai sajalah. Tetapi, kesadaran tersentak dengan sentilan teman yang tukang batu, yang memberikan pelajaran bahwa guru adalah sosok tidak boleh seenaknya, harus bersikap sesuai dengan marwahnya. Bahwa guru harus melakukan kebaikan dengan atau tanpa penghargaan, guru harus hadir memberikan pelajaran dengan ada atau tidaknya pengawasan, guru harus menjadi motivator dan suri tauladan di mana pun berada. Apapun yang terjadi guru diharapkan hadir dan berperan sebagai suluh dan penerang yang bisa memberikan cahaya, bagaikan lilin dalam kehidupan.
Bagaikan lilin dalam kehidupan, itulah ibarat keberadaan guru, yang memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda-beda. Karakater dan kepribadian itu yang kemudian terwujud dalam sikap, tindakan dan ucapan dalam kehidupan sehari-hari, yang sadar atau tidak dibaca, diamati dan dicatat oleh anak didik, oleh teman dan oleh masyarakat. Untuk itu barangkali perlu memahami makna dan filosofi yang terkandung dalam percakapan empat lilin berikut ini.
"Ceritanya dalam kamar ada empat lilin yang menyala, sedikit demi sedikit habis meleleh, suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka. Lilin pertama berkata: “Aku adalah Perubahan, namun manusia tak mampu berubah, maka lebih baik aku mematikan diriku saja!” Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam. Lilin kedua berkata: “Aku adalah Iman, sayang aku tak berguna lagi, manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala”, begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: “Aku adalah Cinta, Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga. Suasana menjadi semakin redup, tanpa terduga, seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “ Ehh apa yang terjadi?! Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!” Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dengan terharu Lilin keempat berkata: “Jangan takut, janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya: Akulah harapan”. Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, kemudian menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya, berpendar menjadi cahaya.
Menjadi cahaya yang terus berpendar, lilin yang tak pernah padam walau nyala apinya hanya temaram, tetapi bisa memberikan penerang dalam gelap, itulah filosofi dari Lilin Harapan. Itulah pesan bagi siapapun yang menjadi guru, bahwa sesungguhnya ia adalah harapan terakhir ketika yang lain jatuh berguguran. Yah, yang tidak pernah mati hanyalah harapan yang ada dalam hati kita, maka jangan lupa untuk selalu berdoa agar bisa menjadi guru harapan, guru yang menjadi dambaan anak didik, orangtua dan masyarakat. Minimal semoga kita dapat menjadi alat, seperti halnya sang anak tersebut, yang dalam situasi yang sulit bukan lari dan ikut bersembunyi, tetapi terpanggil untuk ikut menghidupkan kembali Iman, Cinta, dan Perubahan dengan Harapan! Di tangan guru ada harapan, di pikiran guru ada impian, di hati guru ada masa depan. Guru adalah aset bangsa yang tak ternilai karena hati guru selalu menyala dan terang, terlebih di masa pendemi ini guru harus hadir membawa harapan.
Harapan untuk menjadi salah satu lilin itu terasa berat bagi penulis, mengingat banyaknya kekurangan, mulai dari minimnya kemampuan diri, lemahnya motivasi dan rendahnya rasa peduli. Alhamdulillah, di SMPN 2 Kepil masih ada banyak lilin-lilin yang bisa menjadi pegangan dan menambah kekuatan untuk bertahan. Mungkin masih ada satu dua yang tergolong lilin pertama, lilin kedua atau lilin ketiga, tetapi tentang siapa-siapanya penulis tidak tahu. Yang justru penulis tahu adalah mereka yang menjadi lilin keempat, sang Lilin Harapan. Ada kepala sekolah (Bapak Hadi Wiyono, S.H., M.Pd.) yang visinya jauh ke depan, banyak ide dan kaya terobosan untuk tetap eksis dan tidak pernah berhenti berkarya membangun sekolah di berbagai lini walau di masa pandemi. Selanjutnya ada guru senior (Bapak Widodo, S.Pd.) yang selalu berangkat ke sekolah tidak peduli jadwalnya piket atau tidak, yang menurut beliau bahwa guru itu ya harus berangkat dan bertugas di sekolah. Ada juga yang guru yunior (Ibu Zulaikho Wahyu Utami, S.Pd) yang tidak pernah merasakan WFH, tiap hari berangkat dengan beban pekerjaan BOS yang tak pernah ada habisnya. Ada lagi staf Tata Usaha (Bapak Suronto) yang always ready dan always update berbagai aplikasi pendataan bagi guru dan sekolah sehingga sering menjadi rujukan pertanyaan dan konsultasi banyak admin dari berbagai sekolah. Adalagi pakar administrasi dan perangkat pembelajaran (Ibu Isti Supriyanti, S.Pd. dan Ibu Ruti Sumarni, M.Pd.) yang tak surut memberikan bimbingan dan pelatihan di sela-sela kegiatan pembelajaran. Serta beberapa guru senior maupun yunior lainnya dengan karya-karya inovasi baik dalam pembelajaran dan pelayanan kepada anak didik sehingga sekolah terlihat aktif dalam masa pandemi.
Masa pandemi seperti ini sepintas memang terlihat menguntungkan bagi guru, ini bagi mereka yang kurang peka, karena sesungguhnya di masyarakat posisi guru itu terhujat. Tidak sedikit orangtua yang mengeluhkan minimnya layanan pendidikan yang diberikan guru bagi anak-anak mereka. Guru yang tidak peka ini terlihat santai, jarang berangkat, berangkat siang tidak lama lalu pulang dan tidak peduli dengan gejolak yang terjadi di masyarakat. Inilah yang mungkin masuk kategori lilin pertama, kedua dan ketiga, yang sibuk dengan aktivitas baru yang sangat berbeda. Sangat berbeda dengan lilin keempat Lilin Harapan, mereka bekerja tanpa membatasi waktu, bahkan malam pun masih harus melanjutkan pekerjaan dan pelayanan. Mereka tidak berfikir untung rugi, apalagi sampai berfikir saya dapat apa, saya untung berapa. Ketika berkomunikasi dan konsultasi dengan mereka-mereka sang Lilin Harapan, serasa mendapat banyak ilmu, nasehat dan pencerahan.
Berikut ini beberapa kesimpulan yang dapat penulis rangkum, semoga bisa kembali sedikit membuka wawasan dan menyadarkan penulis khususnya dan semua guru pada umumnya terkait upaya menjaga dan mengembalikan marwah guru;
- Bersyukur, inilah rasa yang pertama kali harus ditanamkan, tentu bukan sekedar mengucapkan kata syukur. Tidak banyak yang berkesempatan bekerja sebagai guru, karena realitanya ada ribuan calon guru yang mengantri untuk profesi ini. Tentunya yang mesti lebih bersyukur adalah guru GTT atau negeri yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi, dan yang harus lebih bersyukur lagi adalah mereka yang berstatus guru negeri dan bersertifikasi. Ada banyak sekali alasan untuk tidak menafikkan karunia dan nikmat yang diberikan kepada guru. Syukur pertama karena guru masih tetap dapat bekerja dan mendapatkan gaji, disaat banyak orang menganggur dan tidak mempunyai penghasilan di masa pandemi ini. Syukur kedua adalah karunia sebagai guru, profesi mulia dan bisa menjadi jalan kebaikan, profesi yang didambakan ribuan calon guru lainnya. Syukur ketiga bahwa jumlah jam kerja yang tidak memberatkan hanya 24 jam dalam seminggu itupun sebagian dilakukan dengan BDR, bisa dibandingkan dengan yang diceritakan seorang guru saat mengajar di sekolah swasta dengan beban kerja 52 jam seminggu dan nyaris ada jam kosong, yang dengan jam segitupun angka gajinya jauh dibandingkan dengan PNS, apalagi PNS bersertifikasi. Nah, itu baru sebagian, belum hal-hal yang lainnya. Kurang apalagi, nikmat mana lagi yang kau dustakan?
- Motivasi, itulah rasa yang kedua yang harus kembali ditumbuhkan. Rasa yang saat ini tak jauh beda antara motivasi belajar murid dan motivasi mengajar guru. Motivasi adalah ruh paling utama dalam proses belajar mengajar, di mana anak didik sangat perlu motivasi untuk belajar hal-hal baru yang akan bermanfaat bagi masa depan mereka. Demikian juga guru sangat perlu motivasi agar bisa ikhlas dalam mengajar, agar bisa mencurahkan perhatian dan kasih sayang dalam membimbing belajar anak didiknya. Guru tanpa motivasi tentu tidak akan bisa berbuat banyak, karena sejatinya seorang guru dihadirkan sebagai motivator untuk memberikan motivasi bagi anak didiknya. Motivasi itu yang akan menjadikan guru semangat mengabdi, semangat melakukan inovasi, semangat dalam belajar dan semangat dalam melayani.
- Peduli, inilah rasa yang ketiga yang harus dirawat dan disuburkan kembali. Disaat banyak orang dilanda rasa aman dan nyaman dengan situasi yang menguntungkan diri sendiri, maka rasa empati akan tumpul, rasa pedulinya memudar dan menjadi kurang peduli dengan keadaan yang terjadi. Kenikmatan, fasilitas dan kenyamanan telah mengubah kepribadiannya, merasa bahwa semua diperoleh karena jerih payahnya semata sehingga ia merasa berhak menikmati sepuasnya. Tidak sadar bahwa ada kewajiban yang harus ditunaikan, lupa bahwa ada orang lain yang membutuhkan perhatian, uluran tangan dan bantuannya. Peduli itulah yang membuat seorang guru di Madura mendatangi anak didiknya, peduli itu pula yang membuat seorang guru wali kelas meminjamkan Laptop dan Androidnya untuk mengerjakan soal PTS online kepada beberapa anak didiknya. Peduli itu juga yang hadir tatkala guru menghubungi siswa menanyakan kesulitan dalam belajar dan membantu memberikan penyelesaian. Intinya, jika ada kepedulian maka akan sangat banyak yang bisa dilakukan guru pada masa pendemi seperti ini.
Marwah guru tidak hanya terikat dengan pembelajaran di kelas dan aktifitas di sekolah, tetapi bagaimana guru bisa hadir di tengah masyarakat. Guru sebagai sosok yang dipandang memiliki iimu dan wawasan yang luas, mempunyai pengaruh dan kharisma yang kuat, maka seorang guru diharapkan bisa hadir memberikan sumbangsih solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat. Sangat mungkin masih ada anak-anak yang terlantar, bukan hanya sekolahnya tetapi bahkan mungkin kebutuhan makan kesehariannya. Dalam kondisi seperti ini sosok guru dibutuhkan untuk hadir, tidak harus berbentuk tindakan yang langsung mengeluarkan uang pribadi untuk membantu, tapi bagaimana guru bisa menjadi sosok yang bisa menggugah, menyadarkan dan menggerakkan banyak orang untuk terpanggil membantu orang yang ditimpa kesulitan secara bersama-sama, serta memberikan solusi dan langkah dalam penyelesaian masalah.
Menjadi bagian dalam penyelesaian masalah dan bukan menjadi bagian dari masalah, itulah kata kuncinya. Di awali dengan berani bersikap rendah hati mengakui kekurangan diri, serta berusaha untuk lebih peka dan lebih peduli dengan apa yang tengah terjadi. Tidak perlu berbusa-busa membela diri, tidak perlu menunjukkan apa yang sudah dilakukan untuk mendapat pengakuan baik. Lakukan saja kebaikan itu, lakukan lagi, tambahi dan terus lakukan sekecil apapun. Dengan begitu insya-Alloh marwah guru bisa dikembalikan pada posisi yang semestinya. Semoga belum terlambat, bukankah dalam setiap kejadian yang Alloh hadirkan pasti terselip sebuah pesan, dan bukankah dalam setiap permasalahan yang menghadang pasti menyiratkan sebuah makna. Selamat bekerja, selamat berkarya, selamat beraktifitas, semoga sukses selalu.
Wow.hebaat....
BalasHapusMasih aktif menulis ya pak?
Hehehe, hanya sekedarnya saja Pak ...
HapusUntuk mengisi kegiatan, menggerakkan jari tangan dan mengaktifkan otak biar gak puyeng mikir pandemi yang tidak pasti ...
Kapan main ke spero lagi Pak?
Bersyukur, motivasi dan peduli adalah tiga point sebagai support untuk menguatkan semangat bekerja dan menjaga marwah seorang guru di masa pandemi. Ada pesan dari setiap kejadian, ada makna dari setiap permasalahan. Semoga belum terlambat memperbaiki diri. Terima kasih Pak Guru atas spirit yang sangat bermanfaat. Semangat terus berkarya untuk menebar kebaikan ššš.
BalasHapusSekedar self reminder, semacam pengingat untuk diri sendiri....
HapusSemoga bermanfaat ...