Alhamdulillah, kami segenap civitas akademika SMPN 2 Kepil ikut berucap syukur atas karunia yang diberikan Alloh SWT kepada salah satu alumni kita, yang telah mengikuti wisuda di kampus ikatan dinas terpavorit di bilangan Bintaro Jakarta Selatan. Yah, hari Kamis 18 Oktober 2018 adalah hari istimewa bagi ananda Reni Fatmayani, salah satu alumni yang merupakan lulusan terbaik SMPN 2 Kepil tahun 2014. Ia diwisuda setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), perguruan tinggi kedinasan di bawah kementerian keuangan. Kedua orang tuanya yang tinggal di desa Cadukan Kepil Wonosobo turut hadir menyaksikan dan mendampingi prosesi wisuda tersebut. Rasa bahagia, haru, bangga dan berbagai rasa syukur bertumpuk menjadi satu. Kedua orangtuanya merasa "lega", karena sebuah tahapan telah berhasil dilalui dengan sangat baik dan rasanya terbayar lunas semua perjuangan selama ini. Dengan prosesi wisuda itu berarti ananda Reni Fatmayani secara otomatis langsung diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di departemen keuangan republik Indonesia. Inilah tema tulisan seri lentera hikmah kali ini, selamat menikmati, semoga bermanfaat.
Sedikit kilas balik, sekitar 21 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 03-01-2017 jam 22:19 ia mengirim inbox di FB yang intinya sharing dan konsultasi tentang rencana pendidikan pasca SMA. Inbox itu berlanjut hingga beberapa hari setelahnya dan akhirnya ia diterima dan memilih untuk menjalani program ikatan dinas di STAN walau di saat yang sama ia juga diterima di Fakultas Teknik UGM. Salah satu penggalan pesan dalam inboxnya yang sungguh diluar pikiran saya, berbunyi
"Pak Mar itu bukan saja hanya sebagai guru yang telah memberikan pembelajaran TIK kepada saya, namun bapak adalah guru yang sangat menginspirasi". Tiada kata yang lebih baik untuk diucapkan selain Alhamdulillah, bahwa semua kebaikan dari Alloh, kita hanyalah perantara saja. Dorongan terbesar ananda tersebut untuk meraih sukses sejatinya adalah dari orang tua, dimana sukses itu akan dipersembahkan kepada kedua orangtua. Hal ini juga ia tulis di inbox,
"Saya akan berjuang semaksimal yang saya bisa. Saya akan mempersembahkan yang terbaik buat kedua orang tua saya pak". Sejujurnya, saya yang menjadi wali kelasnya selama 3 tahun sejak di kelas 7 hingga di kelas 9, merasa tidak berperan apa-apa, yang pasti saya tahu ia adalah siswa yang rajin dan tekun, yang sangat menjaga sopan santun serta punya semangat dan motivasi untuk melakukan yang terbaik.
Saat ini beberapa teman seangkatannya waktu di SMP sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi, antara lain Rudi Aalam Formas (FT UNY), Wahyu Dwi Utami (Poltekes), Adi Susanto (FT UNES). Adapun teman lainnya yang tidak saya sebutkan bukan berarti tidak hebat, karena ukuran sebenarnya bukan sekolah atau kuliah dimana, melainkan pada perjuangan untuk meraih masa depan. Beberapa anak mungkin merasa beruntung bisa melanjutkan pendidikan, sementara beberapa yang lain mungkin merasa kurang beruntung karena berbagai keterbatasan sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika kita mau sedikit lebih peduli, sangat mungkin kita temukan di sekitar kita anak yang hebat, yang sebenarnya pinter dengan kecerdasan di atas rata-rata, namun terpaksa kandas tidak bisa melanjutkan pendidikan karena berbagai kendala. Ada tiga kendala terbesar yang biasanya dialami oleh mereka,
1) masalah keuangan,
2) kurangnya motivasi dan
3) psikologi. Inilah realita yang ada dan terjadi di sekitar kita, di luar sana, di luar ruang kerja kita, di luar kantor kita, mungkin saja di sekolah kita, di kelas kita, atau di ujung kampung kita dan bahkan mungkin di sekitar rumah kita, banyak anak dari keluarga miskin yang sebenarnya hebat dan berbakat namun terbentur tembok kendala. Mereka membutuhkan donasi, suluh, asuh, motivasi dan inspirasi untuk bisa meraih masa depan yang lebih baik.
Tak seorangpun (anak) bermimpi atau berharap untuk dilahirkan dari orangtua miskin.
Kemiskinan, bukanlah sebuah pilihan, dan
tidak ada yang salah dengan kemiskinan. Bagi yang belum pernah merasakan bagaimana menjadi orang miskin, mungkin tidak akan pernah mengerti bagaimana susahnya menjalani hidup yang penuh kekurangan. Mereka, anak-anak dari keluarga miskin bukan tidak ingin sukses dan hidup berkecukupan, namun mereka benar-benar tidak berdaya. Mereka bahkan tidak berani untuk sekedar bermimpi memiliki baju baru, tas dan sepatu baru apalagi sepeda baru, mengingat kondisi orangtuanya yang memang tidak ada untuk itu. Lantai berubin tanah, daun jendela dari anyaman bambu, tempat tidur tanpa kasur, dan ruangan tanpa bilik kamar adalah kondisi harian yang tak pernah terpikirkan untuk direnovasi. Bahkan sekedar untuk makan saja orang tua mereka terkadang harus berhutang, harus bekerja keras, memeras keringat dan membanting tulang. Bisa dibayangkan, sungguh bisa terjadi ketika kondisi yang benar-benar "tidak ada", pensil sang anak yang panjangnya tinggal 2 senti pun tak mampu mengganti (red: pengalaman pribadi). Walau sebenarnya orangtua sadar bahwa sekolah anak-anak adalah satu-satunya harapan agar anak-anak mereka tidak seperti mereka, namun di sisi lain serasa menjadi masalah dan menambah berat beban kehidupan.
Di balik kondisi kemiskinan orangtua ada banyak kisah sukses yang bisa menjadi motivasi mereka meraih sukses dalam kehidupan. Ada
Misyatun dari Purbalingga, yang tinggal hanya bersama ibunya yang buruh tani dengan upah Rp 30.000 sehari, dan demi meraih cita-citanya ia rela menjalani sekolah sambil bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keuletan dan ketekunannya membukakan jalannya, diawali dari kemurahan hati majikannya, bantuan dari wali kelasnya dan perhatian dari kepala sekolahnya serta beasiswa ketika di perguruan tinggi pada akhirnya mengantarkan ia meraih sukses dalam hidupnya. Dalam kisah lain ada
Birul Qodriyah dari Bantul DIY, saat itu orangtuanya yang hanya bekerja sebagai buruh tani dengan upah sekitar Rp 5.000 - Rp 10.000 per hari, sangat sulit baginya untuk menyandang status mahasiswa. Akhirnya melalui Program Beasiswa Bidik Misi Birul Qodriyah menjadi mahasiswa berprestasi UGM 2013, menjadi
Mahasiswa Terinspiratif Nasional dan menjadi
Duta Keperawatan Indonesia, jalan terang telah terbuka untuk meraih cita-citanya. Dua kisah di atas telah membuktikan bahwa sukses bisa diraih oleh siapa saja, termasuk mereka yang miskin dan hidup penuh dengan kekurangan.
Disinilah dibutuhkan kepekaan nurani, kepedulian diri dan keterpanggilan hati untuk menjadi bagian dari solusi. Kita bisa hadir dalam bentuk donasi, bisa hadir dalam bentuk suport motivasi atau juga bisa hadir dalam bentuk jalinan konsultasi psikologi. Seorang wali kelas yang memberikan uang Rp.50.000 kepada Misyatun saat SMP adalah contoh wali kelas yang sungguh menginspirasi, ada efek psikologi berupa penguat motivasi yang nilai manfaatnya jauh lebih besar dari nilai uangnya. Bagi mereka, kehadiran kita bisa menjadi
figur inspirasi dalam mengubah nasib. Inilah yang menjadi kunci keberhasilan dalam pendidikan, yaitu hadirnya pendidik yang inspiratif. Inspirasi ini yang sering absen di sekolah-sekolah, seakan kegiatan pembelaran hanya berisi pelajaran menghapal, menghitung atau latihan gerakan jasmani semata, padahal ada banyak masalah lain yang juga perlu dicarikan solusi. Di sisi lain teryata permasalahan siswa-siswa beragam dan komplek, oleh karena itu sosok guru diharapkan bisa hadir dalam bentuk-bentuk yang bisa menginspirasi bagi mereka. Kehadiran sosok inspiratif ini sangat penting, karena kehadirannya bisa menjadi penguat saat mereka lemah, bisa meluruskan saat mereka salah arah, bisa meneguhkan saat mereka bimbang dan ragu, bisa menenangkan saat mereka galau dan gelisah, dan bisa mendoakan mereka saat menjalani berbagai ujian dan cobaan.
Dari kisah perjalanan sukses ananda Reni Fatmayani dan tokoh lain dalam tulisan ini, sebagai guru atau tenaga kependidikan dapat kita ambil beberapa catatan yang bisa kita jadikan hikmah dan pelajaran antara lain :
- Ketekunan adalah kunci meraih sukses. Ketekunan bahkan bisa mengalahkan kepandaian yang tidak diiringi dengan ketelitian dan kesabaran. Siapapun kita saat ini, pada posisi apapun kita saat ini akan bisa meraih prestasi yang lebih baik jika kita mau belajar dan bekerja dengan penuh ketekunan, Tidak untuk menjadi apa dan siapa, namun untuk menjadi diri kita yang lebih baik dari saat ini. Ketekunan itu juga yang perlu kita tanamkan kepada siswa agar menjadi karakter sebagai modal utama mereka meraih masa depan.
- Lebih peduli (care) kepada siswa. Kepedulian itu yang akan membangun karakter guru menjadi lebih halus perasaanya, lebih peka dan lebih dekat dengan siswa. Dengan rasa peduli kita akan mampu masuk ke kehidupan siswa secara lebih mendalam, bisa mengerti dan memahami berbagai kekurangan pada siswa baik ekonomi, motivasi dan psikologis, sehingga bisa turut andil dan memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh siswa.
- Tidak mencari predikat guru inspiratif. Menjadi guru yang menginpirasi adalah prestasi, sangat baik dan perlu diupayakan karena pentingnya sosok inspiratif ini bagi siswa, namun demikian tidak serta menjadi target dan tujuan utama dalam proses pembelajaran. Jalani saja tugas/peran guru dan tenaga kependidikan dalam memberikan pelayanan terbaik dan optimal dalam bidang pendidikan dengan karya terbaik yang bisa dilakukan.
Saat ini kita bisa merasakan akibat dari apa yang pernah kita lakukan di masa lampau, dan suatu saat kelak kita akan merasakan apa yang kita lakukan hari ini. Ada pepatah
"hasil tidak pernah mengingkari proses", artinya hasil baik atau buruk sangat bergantung pada apa yang kita lakukan. Jangan salahkan siswa jika mereka menilai buruk pada kita, jangan paksa mereka untuk hormat dan santun pada kita yang juga kurang peduli pada mereka. Dari sini mendapat satu pelajaran bahwa sebagai seorang pendidik ternyata masing-masing siswa-siswi kita mencatat dan mengingat dengan kuat apa yang pernah kita lakukan pada mereka. Kebaikan memang tidak mudah dilakukan karena selalu diliputi oleh kesulitan, tantangan dan hambatan, namun demikian tetaplah lakukan kebaikan.
Berhenti kutuki kegelapan, mulailah nyalakan lilin (Anies Baswedan).