Tampak depan gedung SMPN 2 Kepil masih belum layak untuk dikatakan sebagai sekolah yang bagus. Trenyuh, menyentuh dan mengeluh. Sekilas tampak seperti PDAM, kotak penampung air. Sedianya pada lantai 2 sudah berdiri gedung megah dengan papan nama dan logo sekolah. Namun begitulah adanya. Memang, hidup bahagia dengan semua kebutuhan yang tercukupi adalah dambaan setiap anak, setiap orang tua dan siapa saja. Bagi yang sejak kecil terbiasa hidup senang, semua kebutuhan tersedia dan semua keinginan terpenuhi, mungkin tidak akan bisa merasakan betapa kenyatan di luar sana masih banyak orang yang menderita. Namun ternyata tidak semua orang bernasib baik dan memiliki kesempatan dan kecukupan seperti yang diharapkannya. Inilah sumber ispirasi untuk memulai tulisan Manajemen -9 kali ini, tentang ekonomi, tentang keuangan sekolah.
Kita bisa simak jalan hidup seorang anak kecil kelas 1 SMP yang harus berperan menjadi orangtua. Tasripin adalah salah satu contohnya, dia harus mengurusi ketiga adiknya, memandikannya, menyuapinya, mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya. dia harus mengurus dan menyediakan makanan dan segala keperluan adik-adiknya. Sementara dia juga harus sekolah. Bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang harus dipikulnya, betapa bertumpuknya masalah yag harus dipikirkan di kepalanya, betapa sesak dadanya merasakan himpitan kebutuhan hidupnya, sementara kedua orang tuanya tidak berada di dekatnya, sedang merantau mengadu nasib karena kondisi dan suratan nasib yang dialaminya. Bayangkan atau rasakan jika itu terjadi pada diri kita, anak kita atau orang terdekat kita. Kebetulan penulis benar-benar pernah merasakan hal yang sama ketika usia yang sama (1986).
Senada dengan Tasripin, di SMPN 2 Kepil demikian juga adanya, ada bagian (personil) yang merasakan susahnya mengatur keuangan, sulitnya mencukupi berbagai kebutuhan. Ibu Sri Supami dan Bpk Ismain, S.Pd adalah salah satu dari mereka yang menjadi pribadi yang harus bisa berpikir dan berperan ganda. Beliau harus berpikir keras, bersabar sambil menahan diri agar bisa mencukupi banyak kebutuhan orang lain. Bisa jadi ketika dia berpikir keras, sibuk menata keuangan, kurang tidur, kurang makan, di sisi lain orang-orang yang dia pikirkan kebutuhannya tidur lelap, makan lahap dan tersenyum lebar ketika menerima santunan SPPD yang jumlahnya bisa melebihi batas maksimal yang harus dibayarkan. Itulah pekerjaan bendahara sekolah atau bendahara BOS di sekolah.
Manajemen keuangan antara sekolah swasta berbeda dengan sekolah negeri. Sekolah swasta yang bisa mengatur dan merencanakan sendiri tata kelola keuangannya, sehingga akselerasi bisa diatur sesuai analisa kebutuhan dan kebijakan. Berbeda dengan sekolah negeri yang harus mengikuti pola aturan yang lebih ketat dan terbatas, karena sudah ada PAGU (panduan penggunaan) untuk alokasi dana dari pemerintah. Ada sekolah swasta bisa memungut iuran dari siswa hingga ratusan ribu tiap bulan, siswa membayarnya dengan penuh kesadaran. Salah satu contohnya SMP Muhamadiyah 4 Yogyakarta, berdasarkan perhitungan besarnya biaya pendidikan di SMP Muhammadiyah 4 sebesar Rp 4,5 juta per anak per tahun. Dana tersebut tidak bisa dipenuhi dengan BOS yang diberikan pemerintah pusat sebesar Rp 575 ribu per tahun.
Maka kemudian harus ditambah dengan iuran dari siswa untuk mencukupi kebutuhan dana sesuai yang diperlukan. Namun demikian antara sekolah dan siswa (orangtua) sudah saling terbuka dan menyadari bahwa untuk suatu lembaga pendidikan yang mengedapankan mutu dan kualitas dalam layanan, ilmu, sarana yang memang sangat diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Uang BOS pada kenyataannya belum cukup untuk menyelenggarakan sekolah. Maka kemudian muncul BOS pendamping yang dianggarkan oleh peerintah daerah. Dengan kata lain, BOS belum mampu mencukupi sepenuhnya kebutuhan operasional sekolah. Di berbagai daerah ada bermacam reaksi terhadap kebijakan pendidikan gratis. Dari reaksi - reaksi masyarakat tampaklah bahwa ide pendidikan gratis masih belum dipahami dengan jelas dan benar oleh masyarakat. Pendidikan gratis ditangkap bahwa siswa tidak lagi dibebani dengan bermacam-macam biaya mulai dari uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama.
Peran serta masyarakat, dalam hal ini orang tua siswa sangat dibutuhkan. Pihak sekolah (guru dan pejabat sekolah) harus pandai dan jeli untuk bisa melihat sisi dan bagian mana yang bisa melibatkan siswa (orang tua) dalam pendanaan pendidikan. Tujuannya agar proses pendidikan bisa berjalan sesuai tuntutan standar mutu namun tidak harus menambah/mengambil dari anggaran sekolah yang lain. Contohnya praktikum IPA, Seni Budaya dan Prakarya, siswa membawa spesimen sendiri dari alam sekitar, sehingga tidak perlu anggaran pengadaan bahan yang jika diuangkan jumlahnya bisa ratusan ribu rupiah. Begitu seterusnya dalam mapel-mapel yang lain. Totalitas dari guru sangat diharapkan perannya dalam masalah ini. Jangan sampai terkesan guru tidak mampu. Guru harus mau belajar dan harus menguasai. Kalo siswa yakin gurunya mampu maka siswa akan senang dan siap diatur untuk aktif dalam pembelajaran.
Dari gambaran dan realita di atas, sekolah swasta bisa lebih maju dan lebih cepat dalam proses akselerasi kemajuan dan pemenuhan kualitas layanan pendidikan, karena dana bisa tercukupi dengan mudah dari iuran siswa. Sekolah negeri sekelas SMPN di kota juga bisa lebih maju baik dari segi sarana, layanan dan mutu. Lalu apakah kita sekolah kita ini akan begini terus. Siapa yang harus bertanggung jawab ? Siapa yang siap menjadi pioner dan pejuang untuk membangunkan panglima, punggawa, senopati dan prajurit yang merasa telah merdeka, dan menikmati hidangan kemerdekaan yang penuh dengan kenikmatan.
Kemajuan sekolah tidak bisa dibebankan pada kepala sekolah semata, karena kepala sekolah sangat terbatas periode masanya, sekian tahun sudah rolling dan bergeser ke sekolah lain. Justru pada pundak panglima, punggawa dan senopati yang tak lain para guru dan pejabat sekolah terletak kunci kesuksesan dan kemajuan sekolah itu berada. Memang sangat dibutuhkan pejabat / guru yang kompeten, yang berjiwa pejuang, yang berorientasi mutu, bervisi pada pelayanan. Bukan pejabat / guru yang berjiwa priyayi, yang maunya dilayani, dihormati dan dicukupi. Sangat dibutuhkan pribadi-pribadi yang jiwanya terpanggil untuk kerja bakti, ikut andil untuk mengabdi, siap melayani yang ikut andil bisa memulai untuk membuat sekolah kita bisa berjalan lebih cepat, berlari dan berakselerasi untuk menjadi lebaih baik dalam segala sisi. Muda tua bukan pembeda, laki-laki wanita bukan kendala untuk sebuah perjuangan meraih cita-cita bersama.
P Yun, P Edi, P Wid dan P Aris sudah di depan, mari P Yus, P Bagus, P Fauzi kita siap kerja bakti. Pak Vendi, Pak Ronto jangan ditanya, sudah lebih dulu berlari. Demikian pula B Ruti, B Prih dan B Isti yang tak lagi mikir SPPD pengganti. Bapak/Ibu yang lain monggo nderek untuk andil dan berbagi, mari kita jadikan diri ini bagian dari proses kemajuan pendidikan di sekolah yang kita cintai ini. Semoga Alloh senantiasa meridhoi amal bakti dan pengabdian kita. (27111-501)
Kita bisa simak jalan hidup seorang anak kecil kelas 1 SMP yang harus berperan menjadi orangtua. Tasripin adalah salah satu contohnya, dia harus mengurusi ketiga adiknya, memandikannya, menyuapinya, mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya. dia harus mengurus dan menyediakan makanan dan segala keperluan adik-adiknya. Sementara dia juga harus sekolah. Bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang harus dipikulnya, betapa bertumpuknya masalah yag harus dipikirkan di kepalanya, betapa sesak dadanya merasakan himpitan kebutuhan hidupnya, sementara kedua orang tuanya tidak berada di dekatnya, sedang merantau mengadu nasib karena kondisi dan suratan nasib yang dialaminya. Bayangkan atau rasakan jika itu terjadi pada diri kita, anak kita atau orang terdekat kita. Kebetulan penulis benar-benar pernah merasakan hal yang sama ketika usia yang sama (1986).
Senada dengan Tasripin, di SMPN 2 Kepil demikian juga adanya, ada bagian (personil) yang merasakan susahnya mengatur keuangan, sulitnya mencukupi berbagai kebutuhan. Ibu Sri Supami dan Bpk Ismain, S.Pd adalah salah satu dari mereka yang menjadi pribadi yang harus bisa berpikir dan berperan ganda. Beliau harus berpikir keras, bersabar sambil menahan diri agar bisa mencukupi banyak kebutuhan orang lain. Bisa jadi ketika dia berpikir keras, sibuk menata keuangan, kurang tidur, kurang makan, di sisi lain orang-orang yang dia pikirkan kebutuhannya tidur lelap, makan lahap dan tersenyum lebar ketika menerima santunan SPPD yang jumlahnya bisa melebihi batas maksimal yang harus dibayarkan. Itulah pekerjaan bendahara sekolah atau bendahara BOS di sekolah.
Manajemen keuangan antara sekolah swasta berbeda dengan sekolah negeri. Sekolah swasta yang bisa mengatur dan merencanakan sendiri tata kelola keuangannya, sehingga akselerasi bisa diatur sesuai analisa kebutuhan dan kebijakan. Berbeda dengan sekolah negeri yang harus mengikuti pola aturan yang lebih ketat dan terbatas, karena sudah ada PAGU (panduan penggunaan) untuk alokasi dana dari pemerintah. Ada sekolah swasta bisa memungut iuran dari siswa hingga ratusan ribu tiap bulan, siswa membayarnya dengan penuh kesadaran. Salah satu contohnya SMP Muhamadiyah 4 Yogyakarta, berdasarkan perhitungan besarnya biaya pendidikan di SMP Muhammadiyah 4 sebesar Rp 4,5 juta per anak per tahun. Dana tersebut tidak bisa dipenuhi dengan BOS yang diberikan pemerintah pusat sebesar Rp 575 ribu per tahun.
Maka kemudian harus ditambah dengan iuran dari siswa untuk mencukupi kebutuhan dana sesuai yang diperlukan. Namun demikian antara sekolah dan siswa (orangtua) sudah saling terbuka dan menyadari bahwa untuk suatu lembaga pendidikan yang mengedapankan mutu dan kualitas dalam layanan, ilmu, sarana yang memang sangat diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Uang BOS pada kenyataannya belum cukup untuk menyelenggarakan sekolah. Maka kemudian muncul BOS pendamping yang dianggarkan oleh peerintah daerah. Dengan kata lain, BOS belum mampu mencukupi sepenuhnya kebutuhan operasional sekolah. Di berbagai daerah ada bermacam reaksi terhadap kebijakan pendidikan gratis. Dari reaksi - reaksi masyarakat tampaklah bahwa ide pendidikan gratis masih belum dipahami dengan jelas dan benar oleh masyarakat. Pendidikan gratis ditangkap bahwa siswa tidak lagi dibebani dengan bermacam-macam biaya mulai dari uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama.
Peran serta masyarakat, dalam hal ini orang tua siswa sangat dibutuhkan. Pihak sekolah (guru dan pejabat sekolah) harus pandai dan jeli untuk bisa melihat sisi dan bagian mana yang bisa melibatkan siswa (orang tua) dalam pendanaan pendidikan. Tujuannya agar proses pendidikan bisa berjalan sesuai tuntutan standar mutu namun tidak harus menambah/mengambil dari anggaran sekolah yang lain. Contohnya praktikum IPA, Seni Budaya dan Prakarya, siswa membawa spesimen sendiri dari alam sekitar, sehingga tidak perlu anggaran pengadaan bahan yang jika diuangkan jumlahnya bisa ratusan ribu rupiah. Begitu seterusnya dalam mapel-mapel yang lain. Totalitas dari guru sangat diharapkan perannya dalam masalah ini. Jangan sampai terkesan guru tidak mampu. Guru harus mau belajar dan harus menguasai. Kalo siswa yakin gurunya mampu maka siswa akan senang dan siap diatur untuk aktif dalam pembelajaran.
Dari gambaran dan realita di atas, sekolah swasta bisa lebih maju dan lebih cepat dalam proses akselerasi kemajuan dan pemenuhan kualitas layanan pendidikan, karena dana bisa tercukupi dengan mudah dari iuran siswa. Sekolah negeri sekelas SMPN di kota juga bisa lebih maju baik dari segi sarana, layanan dan mutu. Lalu apakah kita sekolah kita ini akan begini terus. Siapa yang harus bertanggung jawab ? Siapa yang siap menjadi pioner dan pejuang untuk membangunkan panglima, punggawa, senopati dan prajurit yang merasa telah merdeka, dan menikmati hidangan kemerdekaan yang penuh dengan kenikmatan.
Kemajuan sekolah tidak bisa dibebankan pada kepala sekolah semata, karena kepala sekolah sangat terbatas periode masanya, sekian tahun sudah rolling dan bergeser ke sekolah lain. Justru pada pundak panglima, punggawa dan senopati yang tak lain para guru dan pejabat sekolah terletak kunci kesuksesan dan kemajuan sekolah itu berada. Memang sangat dibutuhkan pejabat / guru yang kompeten, yang berjiwa pejuang, yang berorientasi mutu, bervisi pada pelayanan. Bukan pejabat / guru yang berjiwa priyayi, yang maunya dilayani, dihormati dan dicukupi. Sangat dibutuhkan pribadi-pribadi yang jiwanya terpanggil untuk kerja bakti, ikut andil untuk mengabdi, siap melayani yang ikut andil bisa memulai untuk membuat sekolah kita bisa berjalan lebih cepat, berlari dan berakselerasi untuk menjadi lebaih baik dalam segala sisi. Muda tua bukan pembeda, laki-laki wanita bukan kendala untuk sebuah perjuangan meraih cita-cita bersama.
P Yun, P Edi, P Wid dan P Aris sudah di depan, mari P Yus, P Bagus, P Fauzi kita siap kerja bakti. Pak Vendi, Pak Ronto jangan ditanya, sudah lebih dulu berlari. Demikian pula B Ruti, B Prih dan B Isti yang tak lagi mikir SPPD pengganti. Bapak/Ibu yang lain monggo nderek untuk andil dan berbagi, mari kita jadikan diri ini bagian dari proses kemajuan pendidikan di sekolah yang kita cintai ini. Semoga Alloh senantiasa meridhoi amal bakti dan pengabdian kita. (27111-501)