text

Selamat Datang di Blog SMP N 2 Kepil Wonosobo ... Sekolah SEJUTA IMPIAN, ... Awali Suksesmu Dari Sini ... Mulailah segala sesuatu dengan BISMILLAH ...

Kamis, 06 Oktober 2016

Oase -9: Nothing is perfect - Jangan Menunggu Sempurna

Tema tulisan kali ini terinspirasi dari beberapa cerita yang kami dengarkan beberapa bulan yang lalu. Diawali  dari cerita tentang seseorang yang biasa dipanggil Pak Tri, ketika dalam perjalanan pulang yang sudah larut dan di rumah belum ada masakan siap saji, maka beliau berfikir harus membeli beberapa bungkus nasi, sayur dan lauk untuk dimakan ketika sudah sampai rumah. Ketika sudah melewati restoran ternama beliau jalan terus memilih restoran lain di depan sana masih ada. Begitu sampai restoran yang dituju ternyata tutup maka pilihan berubah ke warung Padang sekitar 1 km di depan sana sangat enak, namun sesampainya di sana ternyata sudah habis, ya sudah, toh di depan sana masih ada satu lagi warung Padang yang sambal rendangnya sangat nikmat. Alhasil semakin lama semakin malam, semakin menuju kampung yang di wilayah pegunungan tak dapat ditemui lagi restoran atau warung Padang, bahkan angkringan sekalipun. Akhirnya sampai rumah tak jadi membawa nasi bungkus sesuai harapan. Cerita kedua ketika pak Iyun yang sedang dalam perjalanan ke rumah neneknya. Jika sudah masuk waktu sholat Ashar rencananya akan mampir di masjid Mustaqim, pikirannya berubah nanti saja di masjid Al-Huda, berikutnya berubah lagi nanti saja sekalian kalo sudah di rumah neneknya, repot banyak bawaan dan pakaian kotor pikirnya. Singkat cerita, ketika adzan Magrib ternyata masih di perjalanan dengan kondisi harus mendorong motor – karena ban depan bocor. Sudah berjalan 3 km belum mendapat tukang tambal ban - karena di wilayah pegunungan yang jauh dari pemukiman, dan akhirnya sholat Ashar tidak tertunaikan hingga di penghujung waktu. Kiranya pemikiran ini pula yang terjadi ketika seorang gadis yang cantik, pintar dan terpelajar serta berasal keluarga berada, namun belum juga menikah hingga usia kepala lima. Mungkin karena banyaknya pilihan yang tersedia, ditambah keyakinan bisa mendapatkan yang terbaik, dan anggapan waktu masih panjang. Inilah beberapa realita, yang berikutnya akan kita ambil uraian hikmahnya.

Sebelum masuk ke substansi pokok, mari sejenak kita cermati beberapa realita yang terjadi akhir-akhir ini. Sekitar sebulan ini terjadi beberapa peristiwa yang menjadi headline berita, menghiasi layar kaca (televisi) dan surat kabar. Setidaknya ada tiga hal dengan bidang yang berbeda yang membuat berbeda pula sudut pandang dan penanganannya. Pertama, sidang Jessica yang sudah sebulan lebih makin hari bukan makin fokus, sebaliknya makin kabur, makin tak jelas vonis akhirnya dan baru kemarin dibacakan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) untuk kemudian akan dibacakan pembelaan terdakwa (pledoi) pada hari Rabu minggu depan. Kedua, kasus yang menimpa motivator kondang Mario Teguh yang dipojokkan oleh seorang anak yang berusia 31 tahun yang mengaku sebagai anaknya kandungnya dan selama ini telah ditelantarkan oleh bapaknya. Ketiga, Dasrul seorang guru SMAN 2 Makassar yang dihajar hingga berdarah-darah oleh wali murid, hanya karena pengaduan murid yang tidak terima dengan perlakuan fisik guru kepadanya. Kejadian guru Dasrul ini mungkin bisa mewakili beberapa kasus antara guru, siswa dan wali murid yang banyak terjadi di tanah air.

Satu hal yang perlu kita ingat dan kita pegang kuat-kuat, siapapun dan bagaimanapun adanya kita - kita tetap hanya penonton, hanya pengamat dan bukan ahli ataupun saksi. Kebenaran dari ketiga kasus di atas bukanlah area kewenangan kita, baik untuk menilai, mengkritisi apalagi men-justifikasi. Untuk kasus kopi Vietnam, secara fakta awal dari hasil penyidikan di TKP telah mengarah sebagai tersangka, namun tidak menutup kemungkinan jika Jessica yang dari keluarga kaya raya dengan menyewa pengacara mahal dengan berbagai dalih dan alibi serta penguatan ahli yang bisa mengaburkan delik - bisa membuat dirinya terbebas dari segala tuntutan. Demikian pula dengan Mario Teguh yang kata-kata motivasinya sangat inspiratif, kita tidak tahu secara pasti, kita juga tidak punya kapasitas dan kewenangan untuk memastikan apakah Ario Kiswinar ini benar anak biologisnya, atau anak yang hanya mencari sensasi karena memang secara administrasi ia benar anaknya karena dikuatkan dengan akta kelahiran, akta nikah dan kartu keluarga. Pun dengan Dasrul sang guru yang harus tersakiti jasmani dan rohani karena perlakuan wali murid yang mau menang sendiri. Kebaikan Dasrul dan guru-guru lain yang tersangkut kasus yang sejenis seakan hilang, sirna dan tergantikan dengan predikat buruk yang mencoreng nama baiknya.

Dalam menanggapi masalah yang terjadi, seringnya kita mudah terbawa arus dan mengambil “buih” sebagai pegangan. Buih, itulah yang banyak menjadi bahan paling mudah menjustifikasi tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Biasanya hal seperti ini terjadi tanpa sadar dan sering dilakukan, bukan karena suka, namun karena mudah. Banyak orang lebih suka mencari dan melakukan hal yang mudah dan menjauhi hal dianggap sulit. Menilai, menyalahkan dan mengkritik orang lain itu sangat mudah, sebaliknya introspeksi dan memperbaiki diri jauh lebih sulit, makanya jarang dilakukan. Membajak karya orang juga jauh lebih mudah dari membuat sendiri yang tentunya butuh pemikiran dan alur logika yang "Njlimet", waktu yang panjang dan tenaga yang tak terukur berapa jumlahnya.  Hal yang sangat mudah lainnya adalah "menunda", yang akan menjadi bahasan kali ini. Sangat mudah untuk mengatakan sebentar, nanti saja, besok saja dan banyak kata lain yang semakna untuk menunda. Tulisan Oase -8 dengan tema “menulis ceritera tentang diri” menjadi tulisan seri Oase yang paling banyak dibaca - lebih dari 350 kali.  Oase -9 kali ini mengangkat tema “Jangan menunda - jangan menunggu yang sempurna”, semoga bermanfaat.

Kembali ke tiga headline, ada tiga area yang berbeda yang kemudian mempengaruhi stigma (pandangan) masyarakat. Jessica yang dari kalangan keluarga kaya yang berusaha bebas dengan bantuan pengacara handal membuat masyarakat acuh, jenuh dan tidak tertatik bahkan cenderung pesimis dengan vonis akhir peradilan ini. Adapun untuk Mario Teguh yang seorang publik figur, pakar motivasi paling hebat dan dikagumi, menyebabkan pecah dan tercerai berainya para fans yang merasa kecewa, yang sebenarnya belum jelas kejadian sebenarnya. Kekecewaan itu muncul secara frontal yang berbentuk bully dan hujatan keji atas segala kebaikan dan isi motivasi yang telah dijadikan rujukan dan isnpirasi selama +- 9 tahun ini. Berbeda lagi Dasrul yang seorang guru, banyak pihak yang merasa peduli, merasa simpati, selanjutnya mengumpat dan menghujat pelaku penganiayaan guru. Kok ada orang yang tega dan bisa berbuat keji pada guru, figur penuh kharisma, guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Inilah yang kemudian perlu kita cermati, mengapa sosok yang seharusnya dihormati karena kemuliaannya, namun dengan mudahnya seorang wali murid menganiaya dan menghakimi dengan tangan besi.

Singkatnya, inilah yang namanya musibah, yang bisa terjadi dan menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Tidak hanya sosok pengusaha kaya raya semacam Jessica, atau publik figur motivator yang banyak dikagumi kehebatannya, atau guru yang kharismatik dan dihormati, bahkan pejabat publik, aparat, tokoh masyarakat hingga rakyat biasa. Alibi bisa disusun rapi, alasan dibuat meyakinkan dan pembelaan diri bisa didramatisir oleh pengacara ahli, namun itu semua tidak lebih baik dari pada kepasrahan, tawakal dan introspeksi diri sendiri. Kesadaran bahwa musibah yang terjadi adalah “ayat” dari Tuhan, yang bisa dimaknai sebagai peringatan, sebagai pelajaran, atau sebagai bencana untuk menggugah kesadaran. Selayaknya pepeatah “ada api ada asap”, maka musibah yang terjadi bukan tanpa sebab, tanpa tujuan dan tanpa ijin dari Alloh penguasa segala kehidupan alam semesta ini.

Inilah episode dan sekuel kehidupan manusia - termasuk guru, roda kehidupan bergulir tiada henti, dimana martabat dan kemuliaan bisa dengan mudah terkoyak karena terlena dan terbuai oleh rayuan kenikmatan, hasrat akan kekayaan dan balutan kenyamanan jabatan. Dari cerita Pak Tri, Pak Iyun dan beberapa peristiwa headline di atas dapat kami tarik benang merah - sebagai refleksi yang kami himpun menjadi beberapa point sebagai berikut:
  1. Tak seorang pun yang tidak memiliki masalah, setiap kita memiliki masalah yang berbeda kadar besar kecilnya. Masalah adalah sebagian dari kehidupan dan pasti diberikan sesuai dengan kelas dan bidangnya. Masalah kecil yang tidak diatasi sejak dini bisa berubah menjadi masalah besar dan jika kadarnya besar dan terus bertumpuk dan akhirnya akan menjadi musibah yang tidak hanya berdampak pada diri sendiri, namun merembet, menjalar dan berkembang menjadi masalah yang tidak dapat terselesaikan dengan cara sederhana.  
  2. Jika masalah menimpa, terkadang kita merasa sendiri, banyak orang menjauhi bahkan seakan mencemooh kita, padahal tidak demikian adanya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itu hanyalah perasaan kita pada kondisi yang sangat terpukul. Jika kemudian yang terjadi tidak sesuai harapan dan tidak seindah impian, maka yakin saja bahwa ini adalah yang terbaik untuk kita, karena kita tidak pernah tahu skenario yang telah ditetapkan-Nya. Maka yang terbaik adalah bersandar kepada pencipta semesta ini dengan segenap kepasrahan, tawakal dan menerima setiap kejadian dengan keyakinan bahwa ini adalah peringatan, teguran atau jeweran dari Alloh untuk segera menyadari kesalahan, segera berbenah memperbaiki diri.
  3. Penyebab utama terjadinya masalah / musibah adalah kelalaian. Kelalaian bisa terjadi secara sadar atau tanpa sengaja, bisa juga karena penyalah-gunaan wewenang atau lepas kendali karena emosi, bisa juga dorongan nafsu atau himpitan keadaan yang tidak teratasi. Di sinilah kita harus mengaca diri, mawas diri dan selalu berhati-hati agar tidak lalai dan terjebak dalam tirani diri sendiri. Belajar dan terus berusaha memperbaiki karakter, sikap dan perilaku, agar tidak menjadi watak yang sulit berubah seperti pepatah jawa "Ciri wanci lelai ginowo mati" - yang berarti watak buruk tidak akan berubah sampai mati, Naudzubillahi min dzalik.
  4. Kesadaran sering “datang terlambat”, baru tersadar setelah sekian juta kilometer perjalanan, baru tersadar setelah sekian ribu hari dilalui, baru tersadar setelah sisa waktu pengabdian semakin menipis. Menunda, itulah sumber bencana yang nyata, karena begitu mudahnya mengulur waktu, begitu ringannya mengatakan besok dan begitu asyiknya menikamti berbagai kemudahan dan melupakan bahwa kita semua sedang mengalami ujian, menjalani penilaian dan menulis catatan tentang diri yang cepat atau lambat pasti akan dimintai pertanggung-jawaban.
  5. Ternyata, siapapun diri kita, sebaik apapun kualitas kita - kita tidak bisa memastikan bisa melakukan sesuatu yang terbaik pada tempat terbaik dan waktu terbaik. Tidak ada cara instan untuk menjadi baik apalagi menjadi terbaik. Untuk sebuah kebaikan, untuk suatu keutamaan maka lakukan segera di saat kesempatan pertama datang, jangan tunda dan menunggu kesempatan kedua atau ketiga, karena kita tidak bisa memastikan mendapat kebaikan yang sama pada kesempatan berikutnya.
Kemuliaan guru bukan diukur dari kepandaian dan rentetan gelarnya, bukan dari jabatan dan posisinya, bukan dari usia dan senioritasnya, bukan dari gaji, kendaraan dan rumah megahnya. Berapa banyak pribadi yang merasa pandai, merasa senior, memiliki posisi, namun hanya berorientasi gaji akhirnya menjadi pribadi yang kurang disegani murid-muridnya, kurang dihormati sesama teman kerja dan kurang dihargai oleh masyarakat sekitarnya. Kemuliaan, inilah harta termahal seseorang, apalagi bagi seorang guru. Kemuliaan guru terletak pada rasa pengabdian guru untuk mengajar dan mendidik siswa, teman kerja dan masyarakat. Rasa pengabdian itu yang mendorong jiwa untuk bersusah payah menempuh jarak, membelah derasnya hujan dan menepis teriknya matahari. Rasa pengabdian itu yang membangun keikhlasan  mengajar tanpa banyak keluhan karena berbagai keterbatasan atau kurangnya penghargaan. Rasa pengabdian itu yang membangkitkan motivasi untuk terus belajar memperbaiki kualitas diri agar menjadi guru idaman, guru membanggakan dan bukan guru yang mengecewakan.

Sebagai penutup kami tuliskan penggalan syair lagu karya Ebiet G. Age "Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu, entah sampai kapan tak ada yang bakal dapat menghitung, hanya atas kasih-Nya, hanya atas kehendak-Nya kita masih bertemu matahari". Selagi masih ada waktu, mari lakukan yang terbaik, jangan menunda dan jangan menunggu yang sempurna karena tiada kesempurnaan dalam hidup ini selain Alloh Yang Maha Sempurna. Kuasa kita adalah berusaha untuk melakukan yang terbaik. "Nothing is perfect", tiada yang sempurna selagi masih bernama manusia. Selalu bersyukur dan selalu optimis menapaki hari demi hari dalam pengabdian ini. Demikian coretan Oase -9 kali ini, semoga bermanfaat, selamat bekerja semoga sukses. <59060>

8 komentar:

  1. Siiip pak Mar,.... ternyata menunda pekerjaan itu sudah sangat sangat umum dilakukan masyarakat, bahkan kita sendiri, terutama pekerjaan yang sangat berhubungan dengan nasib generasi penerus,....mau melaksanakan ekstra saja menunggu, menunggu dan menunggu... terus kapan?...menunggu teman untuk bersedia pulang agak sore aja susaaaahnya amit2 pak.....matur nuwun semoga bisa menggugah semangat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kasinggihan Pak, banyak yang tidak menyadari bahwa siswa dan lingkungan yang membuat kita mulia, namun motivasi dan orientasi yang memudar karena yang kemudian melenakan kita, sehingga alih-alih meraih prestasi, justru banyak yang terlewatkan karena hanya sekedar memenuhi jam ... namun, tetap harus optimis bahwa kita bisa kembali mengoptimalkan diri, demi siswa-siswa kita yang jika melebar juga anak-anak kita sendiri ...

      Hapus
  2. Ada banyak pembelajaran yang amat berharga yg dpt saya ambil dari tulisan Pak Mar kali ini. Kalimat yang bagus "Belajar dan terus berusaha memperbaiki karakter, sikap dan perilaku, agar tidak menjadi watak yg sulit berubah". Bukan hal yang mudah untuk melakukannya, sehingga yang ada sikap dan perilaku yg jauh dari harapan.
    Trimakasih Pak...semoga bermanfaat untuk saya pribadi, membias untuk keluarga saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seri oase memang kami maksud tentang diri sendiri, yang semoga bisa mengingatkan diri ini sebagai sosok guru, dan walau saya hanya begini adanya ternyata kok ya guru, maka mau tidak mau harus bersikap, berperilaku sebagai guru.
      Terima kasih Bu atas atensinya, semoga yang sederhana ini bisa sedikit membantu dan menambah wawasan teman-teman guru di nusantara kepil ...

      Hapus
    2. Terima kasih tulisan ini menggugah hati nurani ini, dimana sering menunda menunda dan menunda apapun adalah bumerang bagi sendiri..bila mau mengakui sebenarnya biasanya terjadi bukan karena lalai tapi memang sengaja,malas dan penyakit ati..itu kalau saya...

      Dari beberapa gambaran yg tertulis moga sedikit demi sedikit membuka mata hati ini untuk berobat dan berubah.

      Terima kasih Sobat...tulisan ini sangat banyak menginfirasi saya untuk belajar sadar..instropeksi dari segala sudut.

      Hapus
    3. Terima kasih tulisan ini menggugah hati nurani ini, dimana sering menunda menunda dan menunda apapun adalah bumerang bagi sendiri..bila mau mengakui sebenarnya biasanya terjadi bukan karena lalai tapi memang sengaja,malas dan penyakit ati..itu kalau saya...

      Dari beberapa gambaran yg tertulis moga sedikit demi sedikit membuka mata hati ini untuk berobat dan berubah.

      Terima kasih Sobat...tulisan ini sangat banyak menginfirasi saya untuk belajar sadar..instropeksi dari segala sudut.

      Hapus
  3. Balasan
    1. Alhamdulillah, akhirnya tulisan amatiran saya yang sangat lugudan sederhana ini mendapat kunjungan dan komentar dari penulis besar yang skalanya sudah level nasional.
      Terima kasih atas kunjungan Ibu Marlupi, penulis nasional dan guru senior dari Piyungan Bantul Yogyakarta, semoga menambah motivasi saya untuk mengekor dalam ikut membuat goresan di media online ini.

      Hapus