text

Selamat Datang di Blog SMP N 2 Kepil Wonosobo ... Sekolah SEJUTA IMPIAN, ... Awali Suksesmu Dari Sini ... Mulailah segala sesuatu dengan BISMILLAH ...

Jumat, 27 November 2015

Oase -4: UKG, Antara Impian dan Kenyataan - Upaya Membangun Kinerja Guru

Jika dilihat dari pakaian, penghasilan dan strata sosial di masyarakat maka guru adalah pekerjaan enak, nyaman dan posisi yang terhormat. Beberapa orang dengan kondisi tertentu mungkin hal ini ada benarnya, enak, nyaman dan terhormat. Namun penilaian itu akan langsung berbeda jika ada yang berkenan untuk menguntit yang rumahnya jauh dan meneropong yang tempat tugasnya di geografis yang tak terbaca di koran ibukota atau majalah remaja. Sebagai prolog tulisan kali ini, penulis sajikan dua kisah guru yang berbeda tempat, semoga bisa membuka hati dan wawasan. Berikut kisahnya :
1. Laju, seorang guru seni budaya yang harus laju Nanggulan Kulon Progo ke Kepil Wonosobo dengan menempuh jarak 54 kilo meter sekali jalan, artinya untuk perjalanan pulang pergi harus menempuh jarak 108 kilo meter. Yang dari Sleman utara, kota Jogja atau Bantul bisa lebih jauh lagi. Butuh biaya minimal 600-800 ribu rupiah untuk membeli BBM bersubsidi, butuh waktu tak kurang dari 150-180 menit di perjalanan. Bisa dibayangkan capeknya, apalagi pada saat musim hujan. Saat teman sekantor yang lain sudah menikmati makan, santai bersama keluarga atau mungkin sudah terlelap dalam istirahat siangnya, ia masih harus menyusuri rute perjalanan dalam kondisi letih sambil menahan kantuk yang luar biasa, atau sedang berkerudung jas hujan (mantol) di saat derasnya hujan.
2. Tapal batas, guru yang bertugas di daerah perbatasan, daerah terpencil atau pedalaman Tarakan Kalimantan. Bisa dibayangkan saat mereka mengajar dengan tanpa alat peraga dan minimnya fasilitas pembelajaran lainnya. Kesulitan transportasi dan minimnya komunikasi adalah teman dalam keseharian. Jangankan berfikir untuk shoping ke Matahari Dept. Store atau jalan-jalan mengendarai mobil Pajero, untuk pergi ke kantor kecamatan saja susah, kondisi jalan tanah berbatu, hanya dapat ditempuh dengan motor dan butuh waktu berjam-jam. Bisa dibayangkan beratnya perjuangan mereka dalam mengabdi mendidik anak-anak negeri.

Dalam menanggapi hal ini pun pasti beragam, baik dari masyarakat maupun dari teman-teman guru itu sendiri. Ada yang terharu, ada yang empati tetapi ada juga apatis dan tidak mau peduli. Barangkali ada yang berkata "Salahe sopo omahe adoh", "salahe gelem ditempatkan di lokasi terpencil", "ngopo ora njaluk pindah" dan berbagai kata sejenis lainnya. Walau guru yang laju sudah terasa cukup berat dalam menjalani tugasnya tetapi belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka yang bertugas di perbatasan dan pedalaman. Apalagi jika pembandingnya dengan mereka yang rumahnya kurang dari 3 kilo meter, bahkan ada yang jaraknya kurang dari 30 meter, tentu akan jauh lebih mudah dan jauh lebih murah..

Inilah yang menjadi sumber inspirasi untuk mengisi tulisan Oase edisi ke-4 kali ini dalam tema UKG dan PGRI. Hari ini tanggal 27 November 2015 adalah hari terakhir pelaksanaan UKG, dan 2 hari yang lalu adalah hari lahirnya PGRI yang merupakan induk organisasi bagi guru. Uji kompetensi guru atau UKG tahun 2015 sesuai rencana dilaksanakan antara 9 sampai dengan 27 November 2015 di daerah masing-masing (kabupaten/kota). Tidak hanya PNS, tetapi guru Non-PNS (yang sudah punya NUPTK), juga pengawas dan Kepala Sekolah juga wajib mengikuti UKG yang Pelaksanaan secara online. Standar nilai UKG 2015 minimal 5,5 dan mesti ditingkatkan setiap tahunnya hingga mencapai nilai 8,0 pada tahun 2018/2019. Lalu apa tujuan dilaksanakannya UKG? Jangan-jangan sertifikasi yang sudah diterima bisa distop gara-gara nilai UKGnya rendah? itulah yang dikhawatirkan oleh para guru.

Kami mengikuti tes di hari ke-2 dan memperoleh nilai pas-pasan 78, jauh dibandingkan dengan Bpk Iskandar dari SMP 4 Magelang dengan skor 88. Walau nilai hanya 78, kami sudah merasa bersyukur, karena tanpa persiapan yang memadai, belum tahu gambaran soal seperti apa. Yah, sekedar persiapan mental saja, kerjakan sebatas yang bisa dikerjakan, sebatas pengetahuan yang ada.  Selang sehari kemudian ada rasa galau yang menyeruak, bukan karena nilai di atas, namun ternyata ada sesuatu yang tidak sreg dan tidak nyaman dengan realita yang ada di tengah kegelisahan peserta lain yang akan mengikuti UKG. Ada indikasi soal difoto oleh peserta pada hari pertama dengan kamera ponsel, kemudian dikumpulkan berupa file capture gambar soal UKG. Inilah yang kami anggap tidak sportif, tidak jujur dan menciderai kemuliaan profesi guru. Kemudian situasi itu tersampaikan di status media sosial facebook, redaskinya demikian:
Galau, sumpek, layak tidak ya ... Ketika melihat siswa tidak jujur, ngepek atau curang maka kita merasa perlu membenahi dan menegur untuk berubah menjadi lebih baik ... Itulah tugas berat guru, maka saya sangat sedih jika ada teman-2 dari kalangan guru yang justru bersikap seperti siswa di atas, karena hanya berorientasi pada angka/nilai ...Saya bukan guru yang baik, juga  belum masuk kategori guru profesional, tapi saya menjadi TIDAK RESPEK sama sekali pada sikap yang satu ini. Adakah yang bisa memberi bantuan psikologis ..
Banyak komentar dari para senior, para tokoh, para pemerhati dan pelaku pendidikan, yang intinya sangat tidak menyukai (tidak respek) dengan sikap curang tersebut. Kita telah dengan susah payah mendidik siswa untuk jujur, sportif dan tidak suka berbuat curang dalam segala bentuknya. Nah apa jadinya jika seorang atau beberapa guru justru melakukan apa yang bertolak belakang dengan yang diajarkan. Sangat sejalan dengan salah satu komentar dari rekan guru di SMPN 2 Wonosobo, "Memang tes bisa diibaratkan pemeriksaan medis. Kalo hasil pemeriksaannya penuh manipulasi, justru treatmentnya bisa salah.. Mari kita bersama-sama menyadarkan hal itu...". Komentar ini sangat sarat makna, UKG adalah salah satu cara mengukur kompetensi guru, nah jika dalam prosesnya dimanipulasi maka hasilnya akan salah. Nilai UKG yang tinggi tidak melambangkan kemampuan sesungguhnya karena telah direkayasa. Kesalahan fatal ketika seseorang hanya memahami bahwa ujian hanya berorientasi pada hasil berupa angka tanpa memperhatikan esensinya. Ketakutan yang berlebihan dengan hasil yang kurang baik, ditambah kekhawatiran jika nilai rendah akan berakibat tunjangan dihentikan barangkali yang membuat berbagai cara dilakukan tanpa berfikir dampak negatifnya.

Dalam sebuah proses ujian / pengukuran kompetensi seperti UKG yang sangat perlu untuk dijunjung tinggi adalah kejujuran, bukan manipulasi proses yang hanya berorientasi angka atau hasil berupa nilai. Berapapun skor, nilai atau angka dari hasil UKG kita, jika dilakukan dengan penuh kejujuran akan ada kepuasan, ada kebanggaan dan berani mengakui kenyataan kualitas diri. Dan yang terpenting bahwa nilai UKG yang dilaksanakan dengan penuh kejujuran, berapapun hasilnya adalah gambaran sesungguhnya tentang kapasitas dan kompetensi kita. Jika hasilnya sudah baik - perlu dipertahankan, disebarkan dan dibagikan kepada rekan yang lain. Sebaliknya jika hasilnya pas-pasan atau masih merasa kurang maka ini adalah momen untuk belajar memperbaiki kualitas dan kompetensi diri. Yang utama bukan berapa tinggi nilainya namun lebih pada dampak selanjutnya untuk proses perbaikan kualitas, kapasitas dan pelayanan, dan inilah yang terpenting.

Jika dilihat dari komposisinya yang berisi 30 % soal pedagogik dan 70 %  soal profesional sesuai bidang masing-masing, maka tes tersebut termasuk kategori kognitif (pemahaman) terkait proses pembelajaran dan profesional. Kompetensi yang terukur hanyalah pemahaman, ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada kesehariannya ketika melaksanakan tugas mengajar di dalam kelas. Nilai UKG tinggi, kompetensi benar-benar tinggi, nilai UKG tinggi kinerja rendah, nilai UKG rendah namun cara aplikasi di kelas bagus dan yang terakhir nilai UKG rendah kompetensi dan kemauan juga rendah. Artinya jangan mengambil nilai UKG sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai kompetensi guru. Ada pengukuran bidang lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan dan perlu terus dikembangkan.

Pengukuran kompetensi, kualifikasi dan standarisasi sangat penting adanya. Walaupun seseorang telah merasa berpendidikan tinggi, merasa ahli, merasa senior, merasa kaya pengalaman dan merasa memiliki wawasan yang sangat luas, ia tetap butuh suatu pengukuran yang akurat atas kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya. Seperti halnya contoh nyata di bidang bangunan, tukang batu/kayu yang berpengalaman adalah tukang profesional, ia mampu menaksir biaya untuk membuat sebuah rumah, ia bisa hafal formula tentang struktur membuat beton bertulang, namun ia masih membutuhkan lot (benang gandul) untuk mengecek ketegak-lurusan, ia masih menggunakan waterpass untuk mengontrol kerataan posisi horisontal atau vertikal serta masih menggunakan meteran untuk mengukur panjang. Hal ini tak jauh berbeda dengan guru, sepandai apapun, pengalaman sebanyak apapun dan seprofesional bagaimanapun, dia tetap membutuhkan alat bantu untuk mengukur dirinya. Bagi guru banyak aspek dan komponen yang bisa diukur untuk mendapatkan kategori sangat baik, baik, cukup atau kurang.

Banyak alat ukur kemampuan dan kinerja seseorang, namun tak akan kita bahas di sini. Namun ada satu hal yang paling mudah dilakukan yaitu dengan survey / kuisioner terhadap kepuasan pelanggan terhadap produk dan jasa. Nah pekerjaan seorang guru dapat dimasukkan dalam kategori jasa yang juga bisa diukur dengan survey kepuasan pada siswa. Hasil survey yang kami lakukan pada tahun 2014 hasilnya cukup signifikan dan melambangkan kondisi sebenarnya. Untung saja tidak pernah ada piala atau tropi bagi prestasi terendah atau kinerja terburuk, karena akan berdampak buruk terhadap nama baik dan kredibilitas seseorang. Dari sebaran data yang terkumpul dari responden (siswa kelas IX) secara jelas menggambarkan bahwa seorang guru yang dianggap baik, pavorit dan memuaskan adalah mereka yang mempunyai jiwa ideal seorang guru, yang kehadirannya sangat dinantikan, disambut dengan suka cita, yang jika tidak hadir terasa ada yang kurang atau hilang. Pepatah mengatakan “Ada asap ada api”, artinya ada sebab musabab (sebab akibat) ketika muncul penilaian baik atau buruk, disenangi atau dibenci, dihormati atau diacuhi.

Siswa adalah alat  ukur yang sangat akurat bagi guru. Siswa adalah saksi hidup, catatan hidup dan rekaman hidup yang menyimpan semua hal tentang gurunya. Siswa tahu betul apakah gurunya sekedar mengajar atau sekedar hadir di kelas. Siswa dapat merasakan siapa yang benar-benar mendidik dengan melibatkan hati, siswa juga sangat paham siapa yang membimbing dan memperhatikan dengan segenap kasih sayang. Siswa bisa hafal bagaimana kebiasaan gurunya di kelas maupun di luar kelas. Maka jangan heran jika ada siswa yang bisa menirukan gaya dan bahasa gurunya dengan sangat mirip, karena rekaman memori mereka.

Benar apa yang disampaikan Pak Ronto, kalau sekedar menjadi guru yang mengajar itu mudah. Masuk kelas, ngomong cas-cis-cus, ba-bi-bu, perintah ini itu, larang begini begitu atau harus begini begitu. Lebih parah lagi jika banyak tuntutan, minta fasilitas ini dan itu, biaya ini dan itu, namun tidak diimbangi dengan prestasi dan kinerja yang memadai. Membandingkan dengan sekolah lain itu bagus, namun bukan hanya dalam hal fasilitas dan hak guru. Tanggung jawab, profesional, kinerja serta pelayanan juga harus dilaksanakan dengan penuh dedikasi. Jika melihat fakta dan kisah di atas, ternyata Indonesia bukan hanya Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya atau Wonosobo, demikian juga dengan sekolahnya. Ada juga sekolahyang di perbatasan negara (tapal batas), ada yang di pedalaman yang sangat jauh dari ramainya pemukiman. Mereka, saudara kita yang jadi guru di perbatasan, baik yang PNS maupun guru tidak tetap, guru penuh perjuangan, gaji tidak seberapa, komunikasi sulit, transportasi susah, fasilitas sangat minim dan memprihatinkan. Namun jiwa perjuangan mereka luar biasa, ketulusan mereka tak terkira dan pengorbanan mereka tak terukur dan tak terbilang jumlahnya.

Bila kita mau sedikit saja membuka mata, membuka telinga dan membuka hati, maka kita akan banyak instropeksi diri. Betapa kita berlimpah kemudahan, berlimpah fasilitas dibandingkan mereka yang lebih berat perjuangannya. Menjadi pribadi jujur dan sportif adalah pilihan, karena pada semua hal jujur bisa dilakukan, demikian juga untuk berbuat curang ada seribu jalan. Kita harus sadar bahwa kita sebagai guru punya tugas mulia, bukan sekedar guru yang mengajar, namun guru yang mendidik dengan sepenuh hati. Tunjukkan kinerja dan karya terbaik kita. Jangan manja, jangan banyak mengeluh, jangan banyak menuntut dan jangan jarkoni. Guru yang menjunjung tinggi kejujuran dan sportif baik bagi siswa juga dirinya. Guru inovatif yang mampu berkarya dengan kondisi yang ada.  Jadikan diri kita lentera bagi siswa, pribadi yang penuh perhatian dan kasih sayang  serta sumber inspirasi bagi masa depan mereka. Selamat berkarya, semoga kerja kita bernilai ibadah. <35435>

Rabu, 25 November 2015

Hari Guru Spesial, Peringatan hari Jadi PGRI Ke-70, Guru Hebat SMPN 2 Kepil, OSIS Semangat Luar Biasa

Suasana pagi ini istimewa tepat di hari lahir persatuan guru di Indonesia, suasana itu memang sudah terasa sejak di perjalanan. Sejak di jalan nuansa guru sudah terlihat, banyak motor (kendaraan mayoritas para guru) ditumpangi orang berseragam baju bercorak hitam putih bergambar obor, yang merupakan seragam PGRI. Ya ... hari ini, Rabu 25 Nopember 2015 secara serentak di seluruh Indonesia diperingati hari guru yang ke 70 yang bertepatan dengan hari terbentuknya PGRI, hari besarnya guru di Indonesia. Bahkan untuk wilayah DIY, di lima kabupaten kota semua siswa di tingkat SD, SLTP, SLTA bahkan di tingkat pra sekolah PAUD (TK) juga diliburkan. Untuk guru tetap masuk dengan agenda kegiatan forum khusus guru untuk kegiatan pengembangan dan motivation building. Sedang untuk daerah kabupaten Magelang khusus siswa SD yang dilburkan.

Yah, hari ini memang sangat terasa spesial yang terjadi di SMPN 2 Kepil, semua guru berseragam baju PGRI, lebih spesial lagi adalah upacara bendera dalam rangka memperingati hari guru kali ini, semua petugas upacara dilaksanakan sepenuhnya oleh guru. Bertindak sebagai pembina upacara Bpk Drs. Kardan (kepala sekolah), pemimpin upacara Bpk Aris Winarno, pengibar bendera Bpk Widodo, Ibu Tatik dan Ibu Zulaekho, pembaca UUD Ibu Ngaidatul, pembaca doa Bpk Fauzi, protokol Ibu Rini, pemimpin barisan Bpk Satiyun, Bpk Abdullah, dan Ibu Prihatin, ajudan Ibu Septi.

Menjelang upacara selesai ada acara istimewa yang disutradarai oleh OSIS, sangat trenyuh dan menyentuh. Semua guru diatur baris berjajar urut sesuai kode, lalu dilantunkan lagu terima kasih guru, sejenak kemudian secara serentak dan teratur satu persatu dari OSIS maju menemui guru untuk sungkem sambil menyerahkan sepucuk bunga mawar pertanda penghormatan dan rasa terima kasih. Banyak guru dan siswa yang trenyuh hingga meneteskan air mata, sangat khidmat, khusuk dan menyentuh. Luar biasa anak-anak kita, mereka bisa menjadi apa saja bila guru mengarahkan dengan segenap hati, ketulusan dan keteladanan.

Guru adalah benar-benar tugas mulia, tugas terhormat - kalau kita menyadarinya. Kira-kira demikian yang disampaikan pemimpin dunia pendidikan saat ini, mendikdasmen RI. Mengutif sambutan Mendikdasmen Anis Baswedan di media internet stahun yang lalu, berikut petikannya :
Menjadi guru bukanlah pengorbanan. Menjadi guru adalah sebuah kehormatan. Ibu dan Bapak Guru telah memilih jalan terhormat, memilih hadir bersama anak-anak kita, bersama para pemilik masa depan Indonesia. Ibu dan Bapak Guru telah mewakili kita semua menyiapkan masa depan Indonesia.
Potret Indonesia hari ini adalah potret hasil dunia pendidikan di masa lalu. Potret dunia pendidikan hari ini adalah potret Indonesia masa depan. Jadikan rumah kita dan sekolah kita menjadi zona berkarakter mulia. Izinkan anak-anak kita merasakan rumah yang membawa nilai kejujuran. Izinkan anak-anak kita merasakan sekolah yang guru-gurunya adalah teladan. Biarkan anak-anak kita mengingat Kepala Sekolahnya dan seluruh Tenaga Kependidikan di sekolahnya sebagai figur-figur bersih dan terpuji karakternya.
Karakter memang tidak cukup diajarkan melalui lisan dan tulisan. Karakter diajarkan melalui teladan. Oleh karena itu, Ibu dan Bapak Guru yang saya muliakan, jadilah figur-figur yang diteladani oleh murid-murid dan lingkungannya. 
Akhirnya, marilah kita maknai hari guru ini sebagai momen untuk bangkit, untuk bangun dan berubah menjadi sosok guru yang benar-benar sesuai harapan siswa. Kita pasti bisa, kalau kita mau. Yang dibutuhkan adalah berpikir positif, berkata positif, bersikap positif dan bertindak positif. Jangan apriori, jangan berprasangka dan berkesimpulan negatif. Lakukan saja yang terbaik yang bisa dilakukan. Banyak harapan siswa yang digantungkan pada kita, guru. Dorong, bimbing, rangkul dan ajak siswa untuk maju dan senanntiasa memberi motivasi - semangat untuk meraih masa depan mereka, masa depan keluarga mereka, masa depan masyarakat mereka, masa depan negara mereka .... Indonesia. Selamat bekerja, selamat berkarya, semoga sukses selalu.

Mengutip kata-kata bagus Laurence Peter (1986) tentang guru, mungkin bisa menjadi bahan pemikiran dan instropkesi kita  : 1) Guru Biasa, "Mengatakan", 2) Guru yang Baik, "Menerangkan", 3) Guru yang Superior, "Mendemonstrasikan", 4) Guru yang Hebat, "Memberi Inspirasi".  Tetaplah tegak berdiri mendidik, membimbing dan mendoakan siswa-siswi kita. Yakinlah, inilah lahan amal sholehmu. Dirgahayu PGRI, jadilah lentera ilmu, jadilah sumber inspirasi. (35336)

 
 


Sabtu, 21 November 2015

Inovasi -4 : Sosialisasi Konsep Sebagai Media Kontrol dan Koreksi

Dalam suatu perusahaan, yang menjadi indikasi tingkat kemajuan sebuah perusahaan berada pada perubahan yang terus menerus. Perusahaan yang monoton dan tidak mengadakan perubahan akan mati secara perlahan-lahan. Perubahan mutlak dilakukan pada berbagai sisi dan bidang yang dianggap krusial. Salah satu bentuk perubahan dapat dilihat dalam bentuk iklan (advertising), yang sebagiannya berupa tag line perusahaan atau sering disebut slogan. Sebagai contoh Suzuki pernah mengusung slogan "Inovasi Tiada Henti", berubah dan terus berubah, dan yang terakhir slogan Suzuki adalah "Way of Life". Begitu juga dengan Honda dengan "One Heart", Telkom dengan "The world in your hand", PLN dengan "Listrik untuk hidup yang lebih baik", Pegadaian dengan "Mengatasi masalah tanpa masalah" dan masih banyak lagi. Demikian juga di dunia pendidikan (sekolah) yang juga ikut membuat tag line (slogan) sebagai wujud visi untuk berubah menjadi lebih baik. Slogan "Berani Tampil Beda" adalah satunya, yang menjadi trade mark salah satu sekolah berkembang di Kabupaten Magelang. Slogan ini juga dipakai oleh SDN Ibu Jenab 1 Cianjur. Ternyata slogan tidak hanya sebatas kata biasa, namun merupakan ruh yang mampu menghidupkan jiwa para pengusungnya sehingga benar-benar berdampak positif ditandai dengan banyaknya prestasi yang diraih. Inilah esensi dari pentingnya konsep untuk terus melakukan inovasi.

Sebagai  penguatan kembali tentang pentingnya konsep baru sebagai bentuk perubahan, bahwa untuk mengusung sebuah konsep baru itu tidak harus sama sekali baru, tidak harus sama sekali murni karya sendiri, dan tidak harus menunggu datangnya ilham di tengah tidur malam. Konsep baru bagi siswa dan sekolah kita bisa diperoleh dari mana saja, dari siapa saja dan kapan saja. Bisa diadopsi dari sekolah lain, bisa dari modifikasi karya guru yang lain, bisa dari hasil studi banding di kabupaten lain atau bahkan dari hasil browsing di internet atau media elektronik yang lain. Intinya bahwa konsep itu telah kita kaji, telah kita revisi,telah kita uji dan telah kita modifikasi sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi.

Alhamdulillah, hanya atas karunia-Nya semata kami bisa eksis untuk melanjutkan melanjutkan tulisan ini. Pada edisi sebelumnya membicarakan konsep yang merupakan ruh utama inovasi. Tidak banyak yang bisa bertahan pada fase ini, walau sekedar membaca atau menyimak. Apa lagi yang berani memegang teguh sebuah konsep yang baru, sebagian besar memilih pergi dan lari karena takut terbebani. Namun bagi mereka yang memiliki rasa peduli dan menyadari betapa pentingnya perubahan,  mereka akan bertahan dengan segenap kesabaran untuk membuat sebuah konsep baru yang berbeda. Konsep yang jelas tujuannya (goal), konsep yang jelas aplikasinya, konsep yang berorientasi semata-mata untuk kebaikan banyak orang (terutama siswa), konsep yang up to date dan berkesinambungan. Mari, kembali kita lanjutkan bahasan seri Inovasi ini, dan untuk tulisan yang ke-4 ini akan berfokus pada sosialisasi / publikasi.

Setiap rencana baru, setiap perubahan, setiap langkah menuju kemajuan sebaiknya dilakukan proses sosialisasi dari konsep yang ditawarkan. Ini yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan maju, oleh lembaga pendidikan bonafide, oleh organisasi non profit yang sukses dan bahkan oleh toko/supermarket yang sangat mengutamakan pelayanan. Sosialisasi dilakukan pada semua tingkatan dari level paling bawah (karyawan) hingga level tertinggi (manager / direktur). Sosialisasi adalah sarana uji publik (studi kelayakan) terhadap sebuah konsep, gagasan, atau ide yang bersifat baru. Hal yang paling mendasar dari proses sosialisasi adalah bertujuan agar sebuah rencana, sebuah ide, sebuah gagasan, dimengerti dan dipahami oleh seluruh elemen dan unsur dalam suatu lingkup kerja tertentu.

Sebagai bahan pembanding, sedikit kami akan memberi beberapa gambaran tentang pentingnya sosialisasi / uji publik ini. Pertama, bila seorang mahasiswa hendak membuat tugas akhir (skripsi), maka wajib baginya untuk mengadakan seminar dari judul tugas akhir yang akan dilakukannya. Pada seminar itu akan ada pertanyaan, sanggahan, saran dan masukan sebagai bahan koreksi untuk kelanjutan penelitian dan penyelesaian tugas akhir tersebut. Kedua, seorang guru produktif di SMK jurusan mesin produksi harus/wajib membuat Job-sheet (lembar kerja) dan dipresentasikan pada setiap awal semester atau tahun ajaran. Job-sheet, semakna dengan istilah “Gambar Teknik” adalah bahasanya orang teknik. Dalam dunia teknik mesin pada umumnya berupa lembaran berupa gambar benda kerja yang akan dikerjakan / dibuat siswa dalam praktik di bengkel kerja sekolah. Dalam job-sheet tercantum gambar yang lengkap dan jelas, jelas ukurannya, jelas bahannya, jelas metode pengerjaannya, jelas waktunya dan jelas aturan penilaiannya. Pada muara akhirnya, dengan job-sheet itu dapat dihitung berapa kebutuhan bahan dan berapa biayanya. Dari dua contoh di atas kiranya kita bisa mengambil kesimpulan mengapa, untuk apa dan bagaimana pentingnya sosialisasi/uji publik sebuah konsep.

Sosialisasi bukan bertujuan untuk PAMER yang isinya unjuk kebolehan, lomba kemampuan, gaya-gayaan atau bangga-banggaan. PAMER hanya berorientasi memperoleh pujian semata dan anti terhadap kritik. Hal ini sangat berseberangan dengan hakikat sosialisasi yang lebih berfokus untuk proses uji publik yang lebih bertujuan untuk koreksi. Dalam proses uji publik ini sangat berpeluang mendapatkan saran, masukan dan dukungan yang merupakan sarana untuk koreksi dari sebuah rencana, konsep atau gagasan baru. Secara rinci tujuan dari sebuah sosialisasi / publikasi adalah sebagai berikut.
  • Proses sosialisasi berfungsi sebagai pengenalan dan pemaparan. Suatu ide, gagasan, konsep dan pemikiran yang bersifat baru, konstruktif dan inovatif terkait suatu hal baru sangat perlu untuk dikenalkan dan dipaparkan sehingga semua elemen mengetahui adanya suatu yang baru, yang diharapkan  akan bermanfaat bagi kelancaran sebuah proses menuju taraf yang lebih baik. Jangan terjadi ada kegiatan baru yang menimbulkan berbagai masalah dengan efek domino hanya karena tidak adanya sosialisasi kepada publik.
  • Proses sosialisasi berfungsi sebagai media kontrol dan kendali. Kontrol dan kendali berfungsi untuk memantau apakah konsep itu sudah bagus, kurang bagus, atau tidak layak hingga perlu pembenahan. Fungsi kontrol juga sangat dibutuhkan sebagai kajian dan analisa terhadap berbagai aspek yang terkait termasuk alokasi waktu dan pembiayaan. Jangan sampai suatu konsep baru menyebabkan biaya yang over kuota sehingga memberatkan bagian pengelola anggaran.
  • Proses sosialisasi berfungsi menguji relevansi dan kontekstual. Suatu kegiatan harus cocok dan ada relevansinya dengan kegiatan induknya dan tidak berseberangan jalur dengan kegiatan utamanya, inilah yang dimaksud dengan adanya relevansi. Sedangkan kontekstual artinya muatan kegiatan bersifat terbaru dan tidak kadaluarsa. Relevansi dan kontekstual bisa diartikan sesuai dengan aturan dan regulasi yang ada. Berikut ini adalah conoth bentuk kegiatan yang tidak relevan dan tidak kontekstual, misalnya untuk praktik di mapel TIK jangan sampai materi dan kegiatannya hanya mengetik surat terus-menerus hingga 6 kali pertemuan, atau dalam mapel IPA mempelajari gerak edar planet hingga 7 kali pertemuan, atau mapel penjaskes kegiatannya hanya volly hingga 8 kali pertemuan, begitu pula untuk mapel-mapel lainnya.
“Tak ada gading yang tak retak” atau istilah asing “No body is perfect” adalah senjata paling ampuh untuk berlindung dan berlepas diri dari proses perubahan. Memang tak ada manusia yang paripurna, tak ada jiwa yang sempurna, karena kita manusia biasa yang pastinya punya berbagai kelemahan dan kekurangan. Namun sesungguhnya kelemahan yang paling besar adalah tidak adanya kemampuan untuk menyadari di mana kekurangan diri, dan hal ini berakibat rendahnya kemampuan diri untuk berubah memperbaiki diri serta lemahnya motivasi untuk melakukan inovasi. Oleh karena itu kita butuh orang lain untuk mengoreksi dan mengevaluasi diri kita. Di sinilah peran dan fungsi sosialisasi, publikasi dalam rangka koreksi terhadap jati diri.

Jika di perusahaan selalu ada meeting yang rutin dan terjadwal, jika di perguruan tinggi ada seminar judul skripsi terkait sebuah rencana penelitian, dan jika di SMK ada job-sheet berbagai gambar kerja, maka selayaknya di sekolah umum lainnya –termasuk kita- untuk melakukan  sosialisasi, publikasi atau uji publik terhadap konsep, ide dan gagasan baru kita. Intinya dalam sosialaisasi adalah adanya proses komunikasi yang baik yang dilakukan di awal periode, sebagai bentuk evaluasi awal dari sebuah konsep yang akan dilaksanakan dalam satu waktu tertentu. Jangan takut untuk melakukan sosialisasi, publikasi dan uji publik dari konsep bagus yang belum terungkap dan ide cemerlang yang pernah tersirat, karena sesuangguhnya teman-teman guru dan terutama siswa menunggu karya hebat kita. Ibu Yani dengan english day-nya, Ibu Prihatin dan Ibu Rini add teaching IPA-nya, Pak Yus dengan prototipe demografi-nya. Sosialisasi, publikasi dan uji publik adalah kesempatan bagi mereka yang ingin berbenah, ingin perbaikan dan ingin pembaharuan untuk menghasilkan karya dan kerja terbaik dalam mendidik anak-anak yang telah diamanahkan orang tua mereka. Mari terus melakukan inovasi menuju perubahan yang lebih baik, insya-Alloh. Selamat beraktifitas, semoga sukses <35240>

Selasa, 10 November 2015

Oase -3: Tersesat, Kembali atau Dinikmati - Sebuah Pilihan

Hari Minggu kemarin mendapat amanat mengantar tetangga piknik (wisata) ke kebun binatang Gembira Loka, sebagai hadiah dan syukur atas panen cabe yang melimpah. Setelah mengantar penumpang sampai ke loket masuk, kami bermaksud mencari sarapan ke warung nasi di sekitar perempatan SGM. Setelah berjalan kaki sekitar 5 menit atau sekitar 300 meter tidak menemukan yang dicari, dalam hati merasa telah salah tempat sebaiknya kembali saja, namun ada dorongan yang seakan menyuruh "coba jalan terus saja, nanti di depan sana pasti ada warung lain". Akhirnya jalan terus, sambil merasa bahwa ini sudah salah jalan, sudahlah sebaiknya kembali saja, namun lagi-lagi ada dorongan dan keyakinan yang seakan menyuruh "mencoba jalan terus, di depan sana akan ada jalan pintas untuk kembali". Di sinilah awal merasa bahwa sudah tersesat, namun terasa berat untuk kembali sudah terasa cukup jauh untuk berjalan kaki, dan setelah menyusuri tepian sungai berharap ada jalan tembus, namun harapan tak sesuai kenyataan. Akhirnya harus berjalan lagi mengikuti jalur utama untuk bisa kembali ke tempat semula. Kaki serasa tak mau diajak melangkah saking capeknya setelah berjalan kaki sekitar 80 menit.

Tulisan ini adalah Oase edisi ke-3, mengiringi tulisan inovasi yang baru sampai edisi ke-3 yang berisi persiapan konsep dan akan segera kami susul dengan inovasi -4 yang berisikan tentang sosialisasi / uji publik. Oase kali ini bertema tersesat, sesuai kejadian yang cerita di atas yang kemudian akan kami ambil relevansinya dengan kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Tersesat, barangkali setiap orang pernah mengalami. Tersesat bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa tersesat jalan dalam arti salah jalan atau salah arah. Bisa tersesat pemikiran dalam arti salah pandangan, salah pemahaman, salah ideologi dan salah persepsi. Bisa tersesat perasaan, dalam arti salah mengolah rasa, salah menaruh hati, salah mencintai hingga salah membenci. Bisa juga tersesat dalam hal yang lain yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat heterogen dan serba kompleks saat ini.

Sebagai gambaran tambahan betapa sebuah kesesatan akan memberikan efek dan dampak yang parah dan sangat panjang. Ada seseorang yang mencintai teman gadisnya semasa duduk di bangku SMP, yang saat itu sempat dikategorikan bungka sekolah karena kecantikannya. Kenyataan saat ini bahwa sang gadis tersebut telah bersuami dan mempunyai dua anak, duduk di bangku SMA dan SMP. Sang lelaki yakin bahwa gadis tersebut telah bercerai dan siap menerima dia untuk menggantikan bekas suaminya, padahal realita sesungguhnya keluarga itu masih berjalan baik hingga saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh keluarga termasuk mempertemukan sang suami dengan sang lelaki ini, namun hasilnya nihil dan menganggap bahwa orang-orang lain telah membuat rekayasa dan membohonginya. Dari segi fisik, segi jasmani sehat dan makan seperti biasa, juga tidak ada perubahan dalam arti mental. Namun untuk satu hal terkait perasaan, khususnya tentang CINTA benar-benar tak tergoyahkan, tak bisa dikembalikan seperti sedia kala.

Bagi yang sering bepergian atau perjalanan jauh (lajon), sering menjumpai banyak gelandangan, anak-anak punk atau orang yang kurang/hilang ingatan, merekalah salah satu dari sekian orang yang tersesat dalam hidupnya. Atau juga pemuda / pemudi yang jadi sering ngalamun, galau atau stress karena putus cinta, patah hati atau kandas karena cinta yang tak terbalaskan. Inilah realita kehidupan, tersesat bisa dialami siapa saja, dalam bentuk yang mungkin berbeda-beda. Bisa tentang arah perjalanan, pemikiran atau perasaan. Berikut ini adalah kondisi buruk yang sering terjadi dan menghantui perasaan orang yang tersesat.
  • Sering terlambat sadar jika dirinya tersesat, salah arah, salah tujuan, salah perasaan atau salah pemikiran. Tak mudah percaya, bahkan tidak percaya jika ada teman atau orang lain yang memberi tahu bahwa dirinya tersesat, tetap kekeuh dan yakin dia benar, orang lain-lah yang salah.
  • Merasa berat untuk bertanya. Merasa tahu, merasa benar, telah mengalahkan kenyataan bahwa dirinya telah tersesat. Perasaan malu, gengsi semakin menambah parah kondisinya untuk beranjak dan terlepas dari kesesatan yang meliputinya.
  • Berprasangka buruk pada orang lain, sehingga siapa saja dianggap tidak bersahabat, tidak mendukung dan tidak peduli kepadanya. Ini salah satu yang menjadi penyebab orang tersesat sulit untuk bertanya bagaimana jalan untuk kembali.
  • Dorongan dari dalam diri berupa bisikan atau keyakinan untuk terus melanjutkan langkahnya, sikapnya, pemikirannya atau perasaannya. Dorongan itu bersifat menguatkan bahwa di depan sana akan ada jalan pintas, akan ada kemudahan dan akan ada keajaiban untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya.
Adakah dari kita yang kemudian muncul pertanyaan dalam diri sendiri "Saya tersesat tidak atau saya tersesat di mana ?". Semoga semua telah benar, semua sudah sesuai dengan harapan. Namun tidak menutup kemungkinan kita salah, walau kita merasa sudah benar. Kita hanya bisa menilai menurut kadar kita, namun menurut kadar orang lain yang lebih tahu bisa jadi berbeda. Oleh karena itu, beberapa hal berikut mungkin saja diperlukan jika suatu saat bertemu dengan kondisi di mana kita berada pada posisi bingung karena salah jalan, salah pemikiran atau salah perasaan :
  1. Bertanya, kepada siapa aja yang ada untuk hal yang bersifat umum. Namun perlu diingat bahwa tidak ada orang yang tahu tentang semua hal. Juga tidak setiap orang tahu tentang hal tertentu, bahkan orang dianggap tahu belum tentu tahu.
  2. Bertanya, kepada orang yang lebih tahu, semisal tentang perasaan, maka psikolog dan psikiater adalah orang yang lebih tahu. Atau tentang ICT atau komputer, maka mereka yang banyak berkecimpung dengan dunia komputer adalah orang lebih tepat.
  3. Bertanya, kepada yang netral (tanpa tendensi). Bertanya kepada yang menyukai kita, maka jawabannya akan cenderung menutup-nutupi kekurangan kita. Bertanya kepada yang membenci kita maka akan banyak menyalahkan, menyudutkan atau justru menyesatkan kita. Bertanya kepada yang punya tendensi kepentingan, justru akan memanfaatkan dan memakan kita. Artinya dalam bertanya memilih orang yang tidak ada ikatan emosi atau kepentingan.
  4. Bertanya, kepada yang bisa merasakan. Bertanya terkait perasaan (sense) kepada google tidak akan menemukan jawaban yang memadai, karena google tidak memiliki perasaan. Bertanya kepada orang yang berhati lembut, halus perasaannya dan mengerti kondisi diri kita saat ini akan jauh lebih baik dalam memberikan solusi dan pemecahan masalahnya.
  5. Bertanya, kepada yang dekat kepada Tuhannya. Inilah sandaran terakhir untuk terkait segala pernik-pernik kehidupan. Hidup yang sesuai dengan syariah dan agama adalah yang paling sesuai, paling nyaman, paling adil. Orang yang paling dekat dengan Tuhannya tidak akan pernah menyesatkan orang lain, tidak akan pernah merugikan orang lain dan pasti akan bersedia membantu dengan senang hati dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Untuk mencari orang seperti ini tidak perlu jauh-jauh ke Jawa Timur, ke Cirebon atau ke Bali. Mereka yang dekat dengan tuhannya ada hampir di setiap wilayah sekitar kita. Bila beragama Islam, maka siapa yang paling rajin ke masjid, yang paling sering salat malam, yang paling sering bersedekah adalah sebagian tanda-tandanya. Banyak bercerita kebaikan dirinya, atau seringnya berceramah bukanlah ukutan sesungguhnya.
Terlalu sayang (ngeman) jika kita membiarkan diri dalam kesesatan, baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Kita bisa melihat mereka-mereka yang tersesat hidupnya, baik karena salah dalam pemikirannya, salah dalam mengelola perasaannya, salah dalam mengelola jiwanya dan salah dalam mengisi hidupnya - seakan-akan percuma dan sia-sia waktu yang dijalaninya. Terlalu banyak yang dikorbankan, tenaga yang sia-sia, sumber daya, anak-anak dan keluarga, siswa-siswa juga teman dan saudara. Yang paling terasa adalah korban waktu yang tak bisa tergantikan, kita tak akan bisa mengganti waktu yang hilang, tak bisa menukar waktu yang telah berlalu.

Kuncinya, adalah kepercayaan diri untuk bisa kembali ke tujuan yang sebenarnya dan kepercayaan kepada orang lain, bahwa pada dasarnya keluarga, teman dan masyarakat sangat peduli dan menginginkan kita kembali menjadi pribadi yang utuh seperti sediakala. Bila kita tidak punya kepercayaan diri dan kepercayaan pada orang lain, maka akan sangat sulit untuk "mentas dan beranjak dari kesesatan". Pasrah, tawakal dan kesadaran untuk semakin mendekatkan diri kepada Alloh Yang Maha Kuasa adalah jalan terbaik, insya-Alloh. Selamat melanjutkan aktifitas, semoga sukses. <35000>