text

Selamat Datang di Blog SMP N 2 Kepil Wonosobo ... Sekolah SEJUTA IMPIAN, ... Awali Suksesmu Dari Sini ... Mulailah segala sesuatu dengan BISMILLAH ...

Rabu, 28 Juni 2017

Oase -10: Ngudoroso - Sesungguhnya Memang Tidak Mudah Menjadi Guru

Alhamdulillah, masih dalam nuansa Idul Fitri di hari ke 4 kembali kami mulai membuat tulisan ini. Tulisan kali ini masuk dalam kategori Oase, sebagai jeda atas tulisan utama yang bertajuk Inovasi. Sekedar informasi, tulisan seri inovasi yang terakhir (Inovasi 7 : PKn dan IPS - Humaniora) yang Alhamdulillah telah dibaca lebih dari 400 kali, yang kami tidak tahu pasti siapa saja pembacanya dan sebarannya dari mana saja. Hanya satu harapan, semoga yang sedikit dan sederhana ini bisa bermanfaat bagi pembaca, bagi sekolah dan bagi masyarakat yang peduli pada pendidikan. Semoga berikutnya kami bisa segera menyusulkan seri inovasi 8 tentang rumpun seni dan keterampilan. Rencana berikutnya telah kami siapkan seri baru dengan tajuk Puzzle Pendidikan masih harus antri menunggu seri Inovasi selesai secara keseluruhan yang akan berakhir pada seri ke-12. Selanjutnya kami sampaikan selamat menikmati sajian Oase 10 kali ini.

Cerita pengantar, 1) Suatu saat penulis mendengarkan cerita tentang perjuangan seorang guru SD (Sekolah Dasar) yang 5 tahun lagi memasuki masa pensiun. Anda mungkin tak pernah berfikir atau membayangkan jika ada guru SD, seorang ibu yang sudah berusia 55 tahun, yang rumah tinggalnya di Sleman namun tempat mengajarnya di daerah Temanggung, itupun bukan di kota tapi di desa di wilayah pegunungan yang jauh dari kota. Setiap harinya -acara touring- dimulai sejak pagi buta, sehabis subuh "tit" ia sudah harus bersepeda motor (dulunya malah hanya sepeda ontel) menuju jalan raya, lalu menitipkan motornya di tempat penitipan sepeda untuk selanjutnya naik bis hingga Temanggung, kemudian dilanjutkan dengan angkutan desa atau terpaksa naik ojek jika terasa terlambat. 2) Di tempat lain ada teman guru dari Bantul dan mengajar sebuah SMP Negeri di pedalaman wilayah Kalikarung Wonosobo. Setelah 3 tahun berlalu dan dirasa capek dengan laju PP (pergi-pulang) dengan jarak +- 200 km setiap hari, akhirnya ia naik bus dari Bantul - Blabak, selanjutnya ia mengambil sepeda motor yang dititipkan di Palbapang Blabak, bersepeda motor hingga tempat mengajarnya, dengan begitu ia bertutur "lumayan" bisa istirahat dan tidur sejenak di dalam bus. Mungkin bagi mereka yang rumahnya dekat sekolah, yang tidak lebih dari 10 menit sampe sekolah, atau yang hanya dengan melompat sampai sekolah akan berkata "salahe sopo duwe omah adoh", 'ngopo kok ora ngekos", namun bagi para pelaju ada alasan tersendiri yang kadang hanya bisa dimengerti oleh mereka para pelaju, mengapa harus laju, mengapa tidak kos atau kontrak rumah. 

Jika Anda pernah bepergian jauh, dan harus pulang hari itu juga, maka akan bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Sebuah rutinitas yang terkadang menjemukan dan melelahkan, sangat menyita waktu, menguras tenaga, menyedot konsentrasi dan diliputi rasa was-was serta kekhawatiran dengan banyaknya kejadian kecelakaan lalu lintas.Terlebih lagi jika anda seorang pegawai, pekerja atau karyawan yang harus menempuh perjalanan yang jauh, terutama yang mengendarai motor akan merasakan betapa perjalanan itu banyak menyimpan catatan yang beraneka warna dengan segala suka duka. Dalam perjalanan yang penuh resiko ini, mau tidak mau harus menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian. Rasa kantuk yang sering dirasakan adalah kendala tersendiri, tak ingin berhenti agar lekas sampai tujuan namun mata sering tidak bisa diajak kompromi, maka berbelok arah untuk sekedar tidur sesaat di masjid atau bahkan berhenti di pinggir jalan lalu tidur di atas motor adalah hal biasa (menjadi kebiasaan) bagi orang-orang seperti ini.  

Kepasrahan, membenahi niat dan memperbanyak istighfar akan menjadi penguat dan menambah semangat dalam menempuh perjalanan. Ada kebahagiaan ketika sampai tempat tujuan lalu berjumpa dengan siswa dan teman sekantor yang ramah dan bersahabat. Ada kerinduan ketika perjalanan pulang menjumpai dan bersama lagi dengan istri, anak dan keluarga. Perjalanan yang jika dikalkulasi menjadi mahal, apalagi jika dibandingkan dengan mereka yang rumahnya tak jauh dari sekolah. Bensin yang tidak sedikit, oli yang menjadi cepet ganti, ban yang sering kempes bahkan terkadang bocor. Lihatlah rata-rata jaket mereka yang tak pernah ganti hingga cepet usang dimakan usia dan teriknya matahari, atau mantol yang cepat rusak/sobek tergerus air dan angin saat hujan. Inilah dinamika perjalanan yang hanya dirasakan oleh mereka para pelaju. Sebuah pilihan yang hanya dirasakan oleh mereka yang mengalami, karena itulah yang terbaik bagi mereka.

Dua Sumber Inspirasi
Pertama, razia polisi lalu lintas. Dari sekian masalah yang menjadi beban para pelaju, ada satu hal yang paling terasa membebani dan harusnya tidak terjadi, yaitu adanya razia polisi yang hampir terjadi setiap hari, di beberapa lokasi sekaligus dan seringnya tanpa dilengkapi pemenuhan syarat legal berupa papan pemberitahuan dan surat tugas yang sah. Pengendara selalu saja kalah argumen dan berada pada pihak yang salah dan harus rela meskipun terpaksa mengeluarkan uang untuk membayar denda tilang atau "uang damai". Inilah yang secara masif dan mengakar terjadi yang puncaknya menjadi nilai buruk kepolisian, sebagai lambang kekecewaan kepada lembaga pelindung dan pengayom masyarakat.
Kedua, keluhan anak tentang sekolah. Sebagai orang tua, suatu saat kita berusaha share, bercerita dan sebaliknya mendengarkan anak yang bercerita kejadian di sekolahnya. Dari sekian ceritanya yang paling menyayat adalah jika anak mengatakan ada satu dua guru yang rasanya kurang disukai. Guru yang jarang hadir dan hanya memberikan catatan karena sedang kurang sehat, atau hadir namun jarang masuk kelas karena kesibukannya dan hanya memberi tugas namun jarang dikoreksi dan tidak pernah memberikan apresiasi dan motivasi.

Tulisan seri Oase kali ini adalah murni curahan pribadi bahwa ada rasa beban berat sebagai guru untuk bisa memberikan pelayanan terbaik bagi siswa. Fase titik balik itu muncul dan sangat terasa ketika beberapa bulan yang lalu, kami mendapat karunia sakit yang menurut istri adalah sakit yang dirasakan sebagai kondisi paling drop selama 13 tahun berumah tangga. Kondisi sakit yang membuat diri terpaksa harus off dan ijin kerja hampir seminggu lamanya. Namun begitu, pada hari ke 4 tetap memaksakan diri untuk berangkat ke tempat kerja dalam kondisi yang masih sangat lemah dan kepala pusing semata-mata hanya ingin menunjukkan diri -bahwa kondisi diri telah lebih baik, agar teman-teman kantor tidak perlu bezuk ke rumah, kasihan kalau mereka harus jauh-jauh datang ke rumah yang berjarak 56 km dari sekolah. Memaksakan diri berangkat, sambil menahan kepala yang rasanya mau terjungkal, akhirnya sampai juga di sekolah setelah berkendara lebih dari 100 menit (kondisi normal 70-75 menit). Sesampai di sekolah, di meja telah penuh dengan tumpukan buku tugas, hasil pekerjaan siswa. Nah dalam kondisi yang paling terpuruk, dalam dingin yang mencekam dan kepala yang rasanya berputar-putar itulah menjadikan diri sangat sensitif dan kemudian melihat betapa selama ini banyak menelantarkan mereka, mengurangi hak mereka, mengabaikan kerinduan mereka dan meninggalkan tanggung jawab ruhani mereka. 

Tulisan ini bukan untuk mengkritisi siapapun, teman guru, teman kantor, senior atau pimpinan di manapun, namun lebih kepada koreksi kepada diri pribadi yang belum bisa berbuat yang terbaik. Ini hanya gulungan rasa yang muncul ketika saya menempatkan diri sebagai orang tua dari siswa-siswa kita. Saya tidak tega, tidak sampai hati bahkan tidak rela jika anak saya sendiri berada dalam kondisi yang demikian. Bukan masalah berapa banyak biaya yang dikeluarkan, bukan masalah pilihan sekolah, namun lebih kepada masalah amanah dan kepercayaan. Tak satupun orangtua berharap anaknya terabaikan atau dikecewakan, demikian halnya anak dari seorang guru sekalipun. Saya yang kebetulan PNS mungkin tidak terlalu masalah dari segi biaya karena dipercaya untuk hutang di bank, namun bagaimana dengan orangtua siswa yang lain yang sangat beragam pekerjaan dan penghasilan mereka. Ada yang hanya pembantu rumah tangga, penjual sayuran atau bahkan kuli bangunan yang hasilnya tak bisa dipastikan. Mereka memilih sekolah kita karena berharap dan beranggapan inilah pilihan terbaik bagi anak mereka, lembaga yang status dan kelasnya sudah terpercaya, sekolah yang nama besarnya sudah terkenal di dunia maya, bahkan dalam beberapa hal menjadi rujukan bagi sekolah di sekitarnya. Harapan besar dan amanah ratusan siswa dan masyarakat telah diserahkan kepada sekolah yang "dibidani" banyak orang hebat di dalamnya.

Secara pribadi, sebagai seorang guru ada rasa prihatin dan merasa sangat bersalah dengan apa yang kami lakukan selama ini. Banyak hal yang belum di-optimalkan, belum di-maksimalkan dan lebih banyak kepentingan siswa yang terabaikan dan belum terlayani dengan baik. Mungkin juga situasi kelas yang kurang kondusif, sarana yang kurang tertata dan siswa yang kurang disiplin karena kurang penanganan oleh guru kelas atau wali kelas yang kurang inovasi dalam pengelolaan kelasnya. Satu yang paling kami takutkan adalah akumulasi dari berbagai rasa para siswa yang menumpuk menjadi rasa kecewa, dan berikutnya pasti akan sampai kepada orang tua mereka. Kami sebagai guru yang pada saat yang sama sekaligus juga orang tua dari siswa menjadi sangat sensitif pada kejadian seperti ini. Dalam kondisi ini sebagai orang tua hanya bisa bersabar dan memberikan motivasi agar anak tetap semangat belajar. Untuk memberikan kritik dan masukan, orang tua harus berfikir seribu kali demi menjaga anaknya agar terbebas dari intimidasi atau kekhawatiran lain yang akan terjadi. Ketidaknyaman siswa dan berkurangnya kepercayaan orang tua adalah bentuk kekecewaan pada sekolah, sebagai lembaga pendidikan calon pemimpin masa depan.

Berikut kami tuliskan beberapa hal yang merupakan harapan dari orang tua siswa, yang juga sangat diharapkan oleh siswa pada sosok gurunya. Apabila beberapa harapan ini tidak mereka dapatkan dari sosok gurunya maka sangat mungkin akhirnya menjadi beberapa kekecewaan seperti yang terjadi pada oknum polisi atau guru seperti contoh di atas. Harapan tersebut antara lain sebagai berikut;

  • Disiplin dalam hal waktu. Inilah faktor utama pembentuk krediblitas sebuah lembaga, instansi juga diri pribadi. Jujur, harusnya malu jika menyuruh siswa agar disiplin, marah jika ada siswa yang terlambat, dan murka jika ada yang tidak tertib, namun kita tidak pernah instrospeksi apa kita sudah disiplin, apa kita sudah tertib. Jangankan hadir lebih pagi sebelum masuk lalu berdiri siap menyalami siswa, sekedar hadir tepat waktu saja beberapa masih belum bisa, bahkan beberapa dengan tenangnya datang terlambat beberapa menit setelah bel masuk, tidak ada rasa sungkan, tidak ada rasa malu apalagi rasa bersalah sedikitpun..
  • Sikap, perilaku dan perkataan. Seringkali guru yang merasa berkuasa penuh bak raja di dalam kelas, dapat berbuat sesuai ego pribadi, bukan lagi semangat mendidik, membimbing dan melayani namun sebaliknya bisa memerintah sekehendak hati bahkan mengancam hingga mengintimidasi. Perkataan kasar atau kotor yang tidak seharusnya keluar dari sosok guru yang dihormati, hanya karena merasa kehormatannya terusik karena salah memahami hakikatnya dirinya untuk melayani.
  • Tauladan. Inilah hakikat pendidikan yang paling tinggi, yang masih banyak tidak dijiwai oleh guru. Banyak guru yang masih suka memerinah dengan mata melotot, suara keras, atau kata-kata kotor dan nada ancaman. Padahal ada satu metode yang paling ampuh untuk menyuruh, mengajak dan mengarahkan siswa, yaitu keteladanan saat di depan, yang diikuti dengan gandengan saat bersamaan dan dikuatkan dengan dorongan saat di belakang. Dalam hal ini Filosofi Ki Hajar Dewantara terasa sangat pas, ing ngarso sung tulodho - ing madyo mangun karso - tut wuri handayani.
Menjadi guru yang ideal dan idola adalah harapan bagi yang masih punya intuisi dan nurani pada panggilan profesi. Menjadi sosok guru yang hebat, yang cerdas dan yang bijaksana sama halnya dengan harapan para ibu STW, yang umumnya ingin menjadi sosok yang awet muda, selalu sehat, mempesona, selalu bahagia, terpenuhi segala keinginan dan mendapatkan yang terbaik adalah harapan setiap orang. Apalagi jika ditambahi karunia kecerdasan yang tinggi, kemampuan komunikasi verbal yang fasih dan sifat supel, maka tak mengherankan jika kemudian menjadi sosok yang selalu diidolakan oleh siapa saja. Namun dalam kehidupan di dunia yang fana ini tidak ada satupun manusia (makluk) yang sempurna, yang baik dalam segala hal dan bisa selalu menjaga diri dalam kebaikan. Siapapun dia, sehebat apapun ilmunya, secerdas apapun otaknya dan seberapapun banyak kekayaannya, tidak akan serta merta membuat diri menjadi pribadi sempurna.

Kami menyadari sepenuhnya terlampau banyak kesalahan dan kekurangan kami. Rasanya belum layak untuk disebut sebagai guru, sosok yang digugu dan ditiru. Dalam asa ingin meniru dan  menjadi sosok utama berikut; 1) high performance seperti Ibu Ruti Sumarni yang cerdas, energik dan berdedikasi tinggi, 2) low profil seperti Pak Satiyun yang sabar, bijaksana, pasrah, dingin dan tulus tanpa ambisi apalagi sampai mencari keuntungan pribadi, 3) nobel attitude seperti Ibu Rini Utami yang rajin, tekun, santun, ramah dan rendah hati dalam segala kondisi, 4) hidden worker seperti Pak Ronto bekerja sendiri dan sering lembur di malam hari untuk melayani banyak orang - tanpa deklarasi, tanpa harus busungkan dada untuk menunjukkan jati diri, 5) neat and orderly seperti Bu Isti Supriyanti dengan perencanaan dan catatan yang rapi,  teratur dan tersimpan dengan sangat baik. Beliau-beliau ini adalah sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi kami untuk mengabdi dan mendedikasikan diri dalam pembinaan generasi melalui pendidikan di negeri Indonesia tercinta ini.

Dengan penuh kesadaran dan segenap penyesalan atas semua yang telah terlewatkan, secara pribadi penulis ingin menyampaikan "PERMOHONAN MAAF" atas semua kekurangan dan kesalahan yang telah terjadi selama ini.
  • Murid-murid kami, mohon maafkan kami yang sering/banyak meninggalkan kelas - baik karena tugas diklat, tugas pendampingan, tugas sekolah, karena kepentingan pribadi, atau hanya karena malas. Maafkan kami yang belum bisa mengajar, mendidik dan membimbing secara optimal hingga kami tidak mampu menjadi sosok guru yang baik - apalagi guru yang menginspirasi, sekali lagi maafkan guru-mu ini.
  • Orang tua murid dan masyarakat, mohon dimaafkan jika kami dan teman-teman kami masih belum mampu melayani dengan sepenuh hati, jika kami belum bisa mengasihi dan menyayangi siswa layaknya pengganti orang tua di sekolah, satu harapan doakan kami agar bisa lebih baik lagi.
  • Demikian juga kesalahan yang kami lakukan kepada teman-teman kami sesama guru, karyawan dan teman pendidik yang pernah bergaul, berinteraksi atau pembaca yang membaca tulisan-tulisan kami.
Satu harapan, kami dan teman-teman kami - pimpinan, guru dan karyawan - bahwa kami ingin berbenah diri, bertekad untuk memperbaiki diri untuk mengabdikan ilmu dan diri kami untuk pendidikan yang lebih baik di sekolah ini, di wilayah ini, di negeri ini. Kami ingin seperti guru SD yang tetap semangat mengabdi - semoga kami bisa melakukan yang terbaik di sisa-sisa umur kami untuk berbagi ilmu dan berbagi manfaat, karena kami yakin tidak akan ada yang hilang dan terbuang dalam setiap langkah, sikap, perilaku dan tindakan yang dilakukan untuk kebaikan, kalaupun tidak diperoleh di dunia, maka insya-Alloh akan diterimakan di akherat kelak. Kami tidak ingin citra buruk menimpa sekolah kami, teman-teman kami dan murid-murid kami, karena kami juga yakin tidak satu keburukan-pun yang luput dari catatan-Nya dan pasti akan diberi balasan setimpal, yang bisa dirasakan di usia tua atau kelak di alam yang lain. Nasehat, saran dan masukan akan menjadi pemicu dan pemacu untuk tegaknya pembelajaran yang kondusif, oleh karena itu, mari wujudkan sekolah yang aman dan nyaman, serta terbuka untuk perbaikan dan kemajuan. 
Selamat beraktifitas, semoga sukses <72712-73085>.