Guru itu manusia biasa yang punya hati yang bisa emosi. Saat sekolah dulu, mungkin kita pernah mendapati guru yang terlihat sedih atau murung, dan kita tidak berani bertanya ada apa, apa yang terjadi, apa penyebabnya. Jika pembaca kebetulan keluarga guru atau punya teman dekat seorang guru, maka sedikit banyak pasti tahu bagaimana sejatinya kehidupan seorang guru, apalagi jika pembaca ternyata seorang guru. Bagaimana kehidupan dan kepribadian guru sesungguhnya bisa diintip aktifitasnya di ruang guru. Di sana akan ditemui berbagai macam karakter guru, ada menikmati rehat dengan santai, bercanda tawa atau berakting lucu, tetapi ada juga masih serius dengan pekerjaannya, ada lagi yang hobi bercerita banyak hal seakan tahu semua seluk kehidupan, tetapi ada juga guru yang sangat pendiam dan enggan bersuara, sementara itu ada juga yang suka mengeluh seakan orang paling susah, tetapi ada juga yang adem-ayem seakan tak pernah punya masalah. Inilah uniknya guru, dibalik penampilan prima, mereka tetaplah manusia biasa yang tak lepas dari masalah, bisa sedih, galau, jengkel, marah atau kecewa.
Lanjut, terkait marah atau kecewa pernahkah pada masa sekolah dulu membuat guru marah, kecewa atau bersikap tidak hormat. Sungguh, sikap tidak hormat kepada guru adalah sikap tercela seorang murid. Merasa tidak dihormati, tidak dihargai dan diremehkan adalah hal paling menyakitkan hati guru, dimana guru merasa seakan dihina oleh muridnya. Berkaitan dengan tema kali ini kita akan sedikit belajar dari seorang teman yang bernama Pak Qomar (nama samaran). Pak Qomar menceritakan secara khusus kepada kami untuk dijadikan inspirasi, diawali dari peristiwa yang dialaminya saat ia duduk di kelas III-A1 SMA swasta di Yogyakarta, sekitar 30 tahun yang lalu. Ia merasa bersalah karena ikut-ikutan mendemo salah satu gurunya yang tidak berkenan masuk di kelasnya karena sesuatu hal, dan kejadian itu justru membuat gurunya marah dan merasa dipermalukan. Sebenarnya ia dan teman-temannya satu kelas sudah meminta maaf kepada beliau (Pak Agus, Guru B. Indonesia), tetapi ia tetap merasa bersalah dan merasa sangat menyesal. Kami bisa merasakan betapa hancur perasaannya, betapa sakit hatinya dan pastinya menjadi peristiwa yang sulit dilupakan.
Cerita berlanjut, Qodarulloh setelah sekitar 12 tahun berlalu kejadian yang sama terulang, tetapi saat itu Pak Qomar adalah guru yang diperlakukan tidak hormat oleh salah satu muridnya di SMK. Sang murid spesial ini berinisial N, nama yang masih saja melekat dalam ingatannya walau ia telah memaafkannya. Masih terbayang saat murid itu meremehkan, merendahkan dan menghinakan dirinya dihadapan sekitar 30-an murid lainnya. Mungkin anak itu merasa lebih kaya karena anak dari seorang juragan/peternak ayam petelur yang sukses. Pak Qomar muda yang pernah memegang Ban Hitam Karate itu serasa mendidih darahnya ketika dipermalukan oleh muridnya sendiri. Alhamdulillah, ia bersyukur masih bisa menahan dan mengendalikan emosinya. Tidak terbayang apa yang akan terjadi jika guru muda itu emosi, kiranya cukup dengan 2-3 jurus maka murid itu akan tersungkur berkalang tanah. Ia merenung, beristighfar dan menyesalkan mengapa ini harus terjadi. Ia hanya diam, dan peristiwa ini belum ia ceritakan kepada siapapun sebelumnya. Ia sempat down dan malu, percaya diri menurun. Katanya, ternyata berat menjadi guru.
Mengeluh, Ternyata Berat Menjadi Guru
Ternyata memang berat menjadi guru, pekerjaannya banyak, bermacam-macam, berkelanjutan hingga terkadang harus dibawa pulang. Membuat RPP, menyiapkan materi ajar, masuk kelas untuk mengajar, melakukan tes, mengolah nilai dan masih mengerjakan administasi lainnya. Belum lagi jika ada kelas yang susah diatur, butuh energi dan mental ekstra dimana hal itu adalah beban tersendiri, terlebih lagi jika ada murid yang bersikap meremehkan atau berani pada guru seperti pada cerita di atas. Hal begini mungkin tidak terjadi pada sekolah bonafid, sekolah pavorit atau sekolah besar yang berada di kota, yang semuanya sudah terseleksi dan terkondisi dengan baik. Sangat berbeda dengan sekolah kecil di kampung yang level kualitasnya masih di bawah, yang lingkungan kurang kondusif. Di sekolah kecil seperti ini beratnya beban yang dipikul guru sangat terasa, sudah gajinya tak seberapa tidak sebanding dengan besarnya tanggung jawab. Terasa lebih berat lagi apa yang dialami Pak Qomar di atas, muridnya yang waktu itu hanya membayar 150 rupiah untuk 1 jam pelajaran, berani melakukan tindakan keji, tidak berakhlak dan tidak beradab kepada guru yang seharusnya dihormati. Hal-hal seperti inilah yang bisa merusak keikhlasan, menyemai penyesalan, menabur kegalauan hingga menyuburkan iklim bagi guru untuk mengeluhkan keadaan.
Guru mengeluhkan keadaan sebenarnya bukanlah hal baru, bukan pula hal yang tabu. Mengeluh atau bahasa jawanya ngudoroso adalah hal biasa. Kenyataan seperti ini nyatanya ada di kehidupan guru, mungkin saja sedang ada masalah di sekolah atau di rumah. Hanya saja diantara satu dengan yang lainnya berbeda-beda dalam menyikapi masalahnya. Ada yang mampu menyimpan dengan rapi seakan tidak punya masalah dan tidak pernah mengeluh seakan tidak punya beban sama sekali, tetapi ada juga yang hingga dijuluki tukang mengeluh saking seringnya mengeluh. Tapi kiranya perlu direnungkan jika menghadapi kemungkinan adanya pertanyaan terkait hal guru mengeluh, bolehkah? wangunkah? dan adakah? Pertama, bolehkah guru mengeluh, ya pastinya boleh dan sah-sah saja jika guru mengeluh. Kedua, wangunkah guru mengeluh, ya wangun saja, karena itu manusiawi. Ketiga, adakah guru yang mengeluh, ya tentu saja ada, tidak hanya satu dua, banyak malah. Mungkin fenomena ini sesuai dengan ungkapan "mengeluh membuat perasaan menjadi lega dan plong". Bermacam-macam hal yang menjadi bahan keluhan, mulai dari mengeluhkan tubuh yang capek, mengeluh sakit, mengeluh keuangan, mengeluh keluarga (anak, pasangan atau orangtua), mengeluhkan kondisi alam, mengeluhkan pekerjaan, hingga mengeluhkan beratnya perjalanan.
Mengeluhkan beratnya perjalanan, inilah yang kami rasakan sebagai guru yang rumahnya paling jauh, jarak tempuh 100 km tiap hari, menyeberang 197 sungai (meliputi sungai besar/kecil, selokan dan got), melintasi 9 kecamatan, 3 kabupaten dan 2 propinsi. Membutuhkan 60-90 menit sekali jalan dengan kecepatan yang tergantung dengan kondisi perjalanan, kondiri kendaraan dan kondisi kesehatan. Jika kondisi normal maka walau jaraknya jauh terasa biasa, tetapi jika kondisi hujan maka akan berbeda ceritanya, dan berbeda lagi jika kondisi ngantuk saat berkendara (hampir setiap hari saat pulang), dan menjadi lebih berat lagi jika kondisi tubuh sedang sakit. Inilah resiko guru pelaju, sakit tidak diakomodir oleh aplikasi Presensi Android berbasis lokasi, harus hadir bersama Androidnya di lokasi bekerja bagaimanapun kondisinya. Itulah yang pernah kami alami ketika Qodarulloh diberi anugerah sakit, dalam kondisi tubuh lemah tetap berangkat karena tidak ingin dicatat membolos (tidak presensi). Suatu saat kondisi tubuh benar-benar tidak mampu lagi untuk dipaksakan untuk berdiri dan naik motor ke sekolah maka bolos (tidak presensi) menjadi pilihan terakhir (sudah 2 kali bolos). Saat seperti ini kadang muncul perasaan seakan kami adalah guru yang paling susah, paling menderita, paling sengsara, paling berat sehingga paling berhak mengeluh.
Merasa paling berhak, itulah rasa yang menjebak hati kita, seakan kita satu-satunya, seakan tidak ada orang lain yang juga menderita, padahal di luar sana masih banyak orang lain (guru) mengalami hal serupa, bahkan bisa jadi lebih susah dan perjuangannya lebih berat. Seperti ibu guru SD yang pernah kami tuliskan di edisi terdahulu, ia harus sudah bersiap sejak sebelum subuh, lalu naik motor menuju penitipan sepeda, lanjut menunggu untuk naik bis, turun dari bis masih harus naik ojek ke SD yang berada di lereng gunung di Temanggung. Hal itu dilakukan tiap hari, bertahun-tahun dan itu dijalani dengan baik. Ternyata yang bisa menjadi masalah seseorang ada banyak hal, tidak saja tentang jauh dekatnya perjalanan. Yang rumahnya tidak sejauh kami, bahkan mungkin kurang dari 5 kilometer bukan berarti tanpa masalah, ada saja ujian kesulitan yang menjadi masalah kehidupan. Ada yang diberi sakit, ada yang diberi kesulitan ekonomi akibat bunga yang berbunga, ada juga yang terkait keluarga (anak, pasangan atau orangtua) dan masih banyak lagi. Saat diberikan masalah atau kesulitan, yang perlu diyakini bahwa kita bukanlah satu-satunya orang yang menderita.
Sungguh, kita bukan satu-satunya orang yang menderita, sebagai guru kita tak usah mencari jauh-jauh, coba perhatikan murid-murid kita. Lihat baju, celana/rok, dan sepatu mereka, maka kita akan mengelus dada manakala melihat sepatu yang robek, kumal atau bahkan ujungnya terbuka seperti mulut buaya. Orangtuanya bukan tidak tahu atau tidak mau membelikan, tetapi tidak tau harus bagaimana lagi, hanya sebatas berkata "besok ya jika sudah ada rejeki". Lebih detil lagi jika silaturahmi ke rumahnya (home visit) maka air mata akan mengalir menyaksikan kondisi rumahnya, dimana kamar tamu, kamar tidur dan dapur tanpa sekat berkumpul menjadi satu. Makanan dan pakaian yang penting ada, memang mau menuntut kepada siapa. Jangankan minta dibelikan sepatu, sekedar mau cerita bahwa pensilnya hanya tinggal 2 senti saja sang anak tidak sampai hati. Itulah kenyataan yang ada di sekeliling kita, banyak orang di luar sana yang tidak sedang baik-baik saja.
Kami tidak akan menuliskan kesimpulan apapun sebagai penutup karena pada dasarnya tulisan ini hanyalah motivasi untuk diri sendiri. Hakekatnya setiap manusia diberikan ujian, ada yang terlihat ringan, ada yang terasa sangat berat, ada yang berulang-ulang dan terkadang datang silih berganti. Sayangnya, datang silih bergantinya ujian membuat seseorang melupakan karunia Alloh yang lain yang sangat banyak, yang bahkan tak terhitung jumlahnya. "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS An-Nahl : 18). Dan satu hal yang membuat tidak sadar betapa banyaknya nikmat Alloh adalah karena kurangnya rasa syukur. “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS An-Naml: 19). Dari dua ayat Al-Quran tersebut cukuplah menjadi hujah bahwa tidak ada yang lebih baik dan lebih utama dari bersyukur.
Bersyukur, hanya itu yang dapat kami (penulis) sampaikan. Bagaimana tidak bersyukur, jika kami yang hanya anak dari petani dan buruh serabutan, yang saat SD-nya tukang mencari rumput dan kayu bakar, yang saat SMP-nya ikut menjadi buruh cangkul dan gali sumur, dan yang saat SMA-nya masih kembali merumput, buruh cangkul dan juga buruh bangunan, akhirnya bisa menyelesaikan kuliah walau sambil terus merumput dan jadi kuli bangunan di saat libur. Bagaimana tidak bersyukur, kami yang sehari setelah wisuda langsung mau diajak bekerja di perumahan elit Tionghoa dengan pangkat LETU (laden tukang), yang tak lain pembantu tukang, mengaduk semen, membawa material itu - akhirnya diterima bekerja sebagai guru, bagaimana kami tidak bersyukur. Mari kita terus bersyukur, dalam situasi yang sudah merdeka ini kita tetap dituntut harus berjuang, berjuang menjadi pendidik yang berusaha untuk bisa memberi motivasi anak-anak menuju sukses di masa depan, insyaAlloh.
maaf pak bu, mau tanya nomor gudep pramuka SMP N 2 Kepil berapa ya?
BalasHapus131 untuk Pramuka Putra, dan 132 untuk Pramuka Putri
Hapusterima kasih pk aris
Hapus