Selasa, 10 November 2015

Oase -3: Tersesat, Kembali atau Dinikmati - Sebuah Pilihan

Hari Minggu kemarin mendapat amanat mengantar tetangga piknik (wisata) ke kebun binatang Gembira Loka, sebagai hadiah dan syukur atas panen cabe yang melimpah. Setelah mengantar penumpang sampai ke loket masuk, kami bermaksud mencari sarapan ke warung nasi di sekitar perempatan SGM. Setelah berjalan kaki sekitar 5 menit atau sekitar 300 meter tidak menemukan yang dicari, dalam hati merasa telah salah tempat sebaiknya kembali saja, namun ada dorongan yang seakan menyuruh "coba jalan terus saja, nanti di depan sana pasti ada warung lain". Akhirnya jalan terus, sambil merasa bahwa ini sudah salah jalan, sudahlah sebaiknya kembali saja, namun lagi-lagi ada dorongan dan keyakinan yang seakan menyuruh "mencoba jalan terus, di depan sana akan ada jalan pintas untuk kembali". Di sinilah awal merasa bahwa sudah tersesat, namun terasa berat untuk kembali sudah terasa cukup jauh untuk berjalan kaki, dan setelah menyusuri tepian sungai berharap ada jalan tembus, namun harapan tak sesuai kenyataan. Akhirnya harus berjalan lagi mengikuti jalur utama untuk bisa kembali ke tempat semula. Kaki serasa tak mau diajak melangkah saking capeknya setelah berjalan kaki sekitar 80 menit.

Tulisan ini adalah Oase edisi ke-3, mengiringi tulisan inovasi yang baru sampai edisi ke-3 yang berisi persiapan konsep dan akan segera kami susul dengan inovasi -4 yang berisikan tentang sosialisasi / uji publik. Oase kali ini bertema tersesat, sesuai kejadian yang cerita di atas yang kemudian akan kami ambil relevansinya dengan kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Tersesat, barangkali setiap orang pernah mengalami. Tersesat bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa tersesat jalan dalam arti salah jalan atau salah arah. Bisa tersesat pemikiran dalam arti salah pandangan, salah pemahaman, salah ideologi dan salah persepsi. Bisa tersesat perasaan, dalam arti salah mengolah rasa, salah menaruh hati, salah mencintai hingga salah membenci. Bisa juga tersesat dalam hal yang lain yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat heterogen dan serba kompleks saat ini.

Sebagai gambaran tambahan betapa sebuah kesesatan akan memberikan efek dan dampak yang parah dan sangat panjang. Ada seseorang yang mencintai teman gadisnya semasa duduk di bangku SMP, yang saat itu sempat dikategorikan bungka sekolah karena kecantikannya. Kenyataan saat ini bahwa sang gadis tersebut telah bersuami dan mempunyai dua anak, duduk di bangku SMA dan SMP. Sang lelaki yakin bahwa gadis tersebut telah bercerai dan siap menerima dia untuk menggantikan bekas suaminya, padahal realita sesungguhnya keluarga itu masih berjalan baik hingga saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh keluarga termasuk mempertemukan sang suami dengan sang lelaki ini, namun hasilnya nihil dan menganggap bahwa orang-orang lain telah membuat rekayasa dan membohonginya. Dari segi fisik, segi jasmani sehat dan makan seperti biasa, juga tidak ada perubahan dalam arti mental. Namun untuk satu hal terkait perasaan, khususnya tentang CINTA benar-benar tak tergoyahkan, tak bisa dikembalikan seperti sedia kala.

Bagi yang sering bepergian atau perjalanan jauh (lajon), sering menjumpai banyak gelandangan, anak-anak punk atau orang yang kurang/hilang ingatan, merekalah salah satu dari sekian orang yang tersesat dalam hidupnya. Atau juga pemuda / pemudi yang jadi sering ngalamun, galau atau stress karena putus cinta, patah hati atau kandas karena cinta yang tak terbalaskan. Inilah realita kehidupan, tersesat bisa dialami siapa saja, dalam bentuk yang mungkin berbeda-beda. Bisa tentang arah perjalanan, pemikiran atau perasaan. Berikut ini adalah kondisi buruk yang sering terjadi dan menghantui perasaan orang yang tersesat.
  • Sering terlambat sadar jika dirinya tersesat, salah arah, salah tujuan, salah perasaan atau salah pemikiran. Tak mudah percaya, bahkan tidak percaya jika ada teman atau orang lain yang memberi tahu bahwa dirinya tersesat, tetap kekeuh dan yakin dia benar, orang lain-lah yang salah.
  • Merasa berat untuk bertanya. Merasa tahu, merasa benar, telah mengalahkan kenyataan bahwa dirinya telah tersesat. Perasaan malu, gengsi semakin menambah parah kondisinya untuk beranjak dan terlepas dari kesesatan yang meliputinya.
  • Berprasangka buruk pada orang lain, sehingga siapa saja dianggap tidak bersahabat, tidak mendukung dan tidak peduli kepadanya. Ini salah satu yang menjadi penyebab orang tersesat sulit untuk bertanya bagaimana jalan untuk kembali.
  • Dorongan dari dalam diri berupa bisikan atau keyakinan untuk terus melanjutkan langkahnya, sikapnya, pemikirannya atau perasaannya. Dorongan itu bersifat menguatkan bahwa di depan sana akan ada jalan pintas, akan ada kemudahan dan akan ada keajaiban untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya.
Adakah dari kita yang kemudian muncul pertanyaan dalam diri sendiri "Saya tersesat tidak atau saya tersesat di mana ?". Semoga semua telah benar, semua sudah sesuai dengan harapan. Namun tidak menutup kemungkinan kita salah, walau kita merasa sudah benar. Kita hanya bisa menilai menurut kadar kita, namun menurut kadar orang lain yang lebih tahu bisa jadi berbeda. Oleh karena itu, beberapa hal berikut mungkin saja diperlukan jika suatu saat bertemu dengan kondisi di mana kita berada pada posisi bingung karena salah jalan, salah pemikiran atau salah perasaan :
  1. Bertanya, kepada siapa aja yang ada untuk hal yang bersifat umum. Namun perlu diingat bahwa tidak ada orang yang tahu tentang semua hal. Juga tidak setiap orang tahu tentang hal tertentu, bahkan orang dianggap tahu belum tentu tahu.
  2. Bertanya, kepada orang yang lebih tahu, semisal tentang perasaan, maka psikolog dan psikiater adalah orang yang lebih tahu. Atau tentang ICT atau komputer, maka mereka yang banyak berkecimpung dengan dunia komputer adalah orang lebih tepat.
  3. Bertanya, kepada yang netral (tanpa tendensi). Bertanya kepada yang menyukai kita, maka jawabannya akan cenderung menutup-nutupi kekurangan kita. Bertanya kepada yang membenci kita maka akan banyak menyalahkan, menyudutkan atau justru menyesatkan kita. Bertanya kepada yang punya tendensi kepentingan, justru akan memanfaatkan dan memakan kita. Artinya dalam bertanya memilih orang yang tidak ada ikatan emosi atau kepentingan.
  4. Bertanya, kepada yang bisa merasakan. Bertanya terkait perasaan (sense) kepada google tidak akan menemukan jawaban yang memadai, karena google tidak memiliki perasaan. Bertanya kepada orang yang berhati lembut, halus perasaannya dan mengerti kondisi diri kita saat ini akan jauh lebih baik dalam memberikan solusi dan pemecahan masalahnya.
  5. Bertanya, kepada yang dekat kepada Tuhannya. Inilah sandaran terakhir untuk terkait segala pernik-pernik kehidupan. Hidup yang sesuai dengan syariah dan agama adalah yang paling sesuai, paling nyaman, paling adil. Orang yang paling dekat dengan Tuhannya tidak akan pernah menyesatkan orang lain, tidak akan pernah merugikan orang lain dan pasti akan bersedia membantu dengan senang hati dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Untuk mencari orang seperti ini tidak perlu jauh-jauh ke Jawa Timur, ke Cirebon atau ke Bali. Mereka yang dekat dengan tuhannya ada hampir di setiap wilayah sekitar kita. Bila beragama Islam, maka siapa yang paling rajin ke masjid, yang paling sering salat malam, yang paling sering bersedekah adalah sebagian tanda-tandanya. Banyak bercerita kebaikan dirinya, atau seringnya berceramah bukanlah ukutan sesungguhnya.
Terlalu sayang (ngeman) jika kita membiarkan diri dalam kesesatan, baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Kita bisa melihat mereka-mereka yang tersesat hidupnya, baik karena salah dalam pemikirannya, salah dalam mengelola perasaannya, salah dalam mengelola jiwanya dan salah dalam mengisi hidupnya - seakan-akan percuma dan sia-sia waktu yang dijalaninya. Terlalu banyak yang dikorbankan, tenaga yang sia-sia, sumber daya, anak-anak dan keluarga, siswa-siswa juga teman dan saudara. Yang paling terasa adalah korban waktu yang tak bisa tergantikan, kita tak akan bisa mengganti waktu yang hilang, tak bisa menukar waktu yang telah berlalu.

Kuncinya, adalah kepercayaan diri untuk bisa kembali ke tujuan yang sebenarnya dan kepercayaan kepada orang lain, bahwa pada dasarnya keluarga, teman dan masyarakat sangat peduli dan menginginkan kita kembali menjadi pribadi yang utuh seperti sediakala. Bila kita tidak punya kepercayaan diri dan kepercayaan pada orang lain, maka akan sangat sulit untuk "mentas dan beranjak dari kesesatan". Pasrah, tawakal dan kesadaran untuk semakin mendekatkan diri kepada Alloh Yang Maha Kuasa adalah jalan terbaik, insya-Alloh. Selamat melanjutkan aktifitas, semoga sukses. <35000>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar