1. Laju, seorang guru seni budaya yang harus laju Nanggulan Kulon Progo ke Kepil Wonosobo dengan menempuh jarak 54 kilo meter sekali jalan, artinya untuk perjalanan pulang pergi harus menempuh jarak 108 kilo meter. Yang dari Sleman utara, kota Jogja atau Bantul bisa lebih jauh lagi. Butuh biaya minimal 600-800 ribu rupiah untuk membeli BBM bersubsidi, butuh waktu tak kurang dari 150-180 menit di perjalanan. Bisa dibayangkan capeknya, apalagi pada saat musim hujan. Saat teman sekantor yang lain sudah menikmati makan, santai bersama keluarga atau mungkin sudah terlelap dalam istirahat siangnya, ia masih harus menyusuri rute perjalanan dalam kondisi letih sambil menahan kantuk yang luar biasa, atau sedang berkerudung jas hujan (mantol) di saat derasnya hujan.
2. Tapal batas, guru yang bertugas di daerah perbatasan, daerah terpencil atau pedalaman Tarakan Kalimantan. Bisa dibayangkan saat mereka mengajar dengan tanpa alat peraga dan minimnya fasilitas pembelajaran lainnya. Kesulitan transportasi dan minimnya komunikasi adalah teman dalam keseharian. Jangankan berfikir untuk shoping ke Matahari Dept. Store atau jalan-jalan mengendarai mobil Pajero, untuk pergi ke kantor kecamatan saja susah, kondisi jalan tanah berbatu, hanya dapat ditempuh dengan motor dan butuh waktu berjam-jam. Bisa dibayangkan beratnya perjuangan mereka dalam mengabdi mendidik anak-anak negeri.
Dalam menanggapi hal ini pun pasti beragam, baik dari masyarakat maupun dari teman-teman guru itu sendiri. Ada yang terharu, ada yang empati tetapi ada juga apatis dan tidak mau peduli. Barangkali ada yang berkata "Salahe sopo omahe adoh", "salahe gelem ditempatkan di lokasi terpencil", "ngopo ora njaluk pindah" dan berbagai kata sejenis lainnya. Walau guru yang laju sudah terasa cukup berat dalam menjalani tugasnya tetapi belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka yang bertugas di perbatasan dan pedalaman. Apalagi jika pembandingnya dengan mereka yang rumahnya kurang dari 3 kilo meter, bahkan ada yang jaraknya kurang dari 30 meter, tentu akan jauh lebih mudah dan jauh lebih murah..
Inilah yang menjadi sumber inspirasi untuk mengisi tulisan Oase edisi ke-4 kali ini dalam tema UKG dan PGRI. Hari ini tanggal 27 November 2015 adalah hari terakhir pelaksanaan UKG, dan 2 hari yang lalu adalah hari lahirnya PGRI yang merupakan induk organisasi bagi guru. Uji kompetensi guru atau UKG tahun 2015 sesuai rencana dilaksanakan antara 9 sampai dengan 27 November 2015 di daerah masing-masing (kabupaten/kota). Tidak hanya PNS, tetapi guru Non-PNS (yang sudah punya NUPTK), juga pengawas dan Kepala Sekolah juga wajib mengikuti UKG yang Pelaksanaan secara online. Standar nilai UKG 2015 minimal 5,5 dan mesti ditingkatkan setiap tahunnya hingga mencapai nilai 8,0 pada tahun 2018/2019. Lalu apa tujuan dilaksanakannya UKG? Jangan-jangan sertifikasi yang sudah diterima bisa distop gara-gara nilai UKGnya rendah? itulah yang dikhawatirkan oleh para guru.
Kami mengikuti tes di hari ke-2 dan memperoleh nilai pas-pasan 78, jauh dibandingkan dengan Bpk Iskandar dari SMP 4 Magelang dengan skor 88. Walau nilai hanya 78, kami sudah merasa bersyukur, karena tanpa persiapan yang memadai, belum tahu gambaran soal seperti apa. Yah, sekedar persiapan mental saja, kerjakan sebatas yang bisa dikerjakan, sebatas pengetahuan yang ada. Selang sehari kemudian ada rasa galau yang menyeruak, bukan karena nilai di atas, namun ternyata ada sesuatu yang tidak sreg dan tidak nyaman dengan realita yang ada di tengah kegelisahan peserta lain yang akan mengikuti UKG. Ada indikasi soal difoto oleh peserta pada hari pertama dengan kamera ponsel, kemudian dikumpulkan berupa file capture gambar soal UKG. Inilah yang kami anggap tidak sportif, tidak jujur dan menciderai kemuliaan profesi guru. Kemudian situasi itu tersampaikan di status media sosial facebook, redaskinya demikian:
Galau, sumpek, layak tidak ya ... Ketika melihat siswa tidak jujur, ngepek atau curang maka kita merasa perlu membenahi dan menegur untuk berubah menjadi lebih baik ... Itulah tugas berat guru, maka saya sangat sedih jika ada teman-2 dari kalangan guru yang justru bersikap seperti siswa di atas, karena hanya berorientasi pada angka/nilai ...Saya bukan guru yang baik, juga belum masuk kategori guru profesional, tapi saya menjadi TIDAK RESPEK sama sekali pada sikap yang satu ini. Adakah yang bisa memberi bantuan psikologis ..Banyak komentar dari para senior, para tokoh, para pemerhati dan pelaku pendidikan, yang intinya sangat tidak menyukai (tidak respek) dengan sikap curang tersebut. Kita telah dengan susah payah mendidik siswa untuk jujur, sportif dan tidak suka berbuat curang dalam segala bentuknya. Nah apa jadinya jika seorang atau beberapa guru justru melakukan apa yang bertolak belakang dengan yang diajarkan. Sangat sejalan dengan salah satu komentar dari rekan guru di SMPN 2 Wonosobo, "Memang tes bisa diibaratkan pemeriksaan medis. Kalo hasil pemeriksaannya penuh manipulasi, justru treatmentnya bisa salah.. Mari kita bersama-sama menyadarkan hal itu...". Komentar ini sangat sarat makna, UKG adalah salah satu cara mengukur kompetensi guru, nah jika dalam prosesnya dimanipulasi maka hasilnya akan salah. Nilai UKG yang tinggi tidak melambangkan kemampuan sesungguhnya karena telah direkayasa. Kesalahan fatal ketika seseorang hanya memahami bahwa ujian hanya berorientasi pada hasil berupa angka tanpa memperhatikan esensinya. Ketakutan yang berlebihan dengan hasil yang kurang baik, ditambah kekhawatiran jika nilai rendah akan berakibat tunjangan dihentikan barangkali yang membuat berbagai cara dilakukan tanpa berfikir dampak negatifnya.
Dalam sebuah proses ujian / pengukuran kompetensi seperti UKG yang sangat perlu untuk dijunjung tinggi adalah kejujuran, bukan manipulasi proses yang hanya berorientasi angka atau hasil berupa nilai. Berapapun skor, nilai atau angka dari hasil UKG kita, jika dilakukan dengan penuh kejujuran akan ada kepuasan, ada kebanggaan dan berani mengakui kenyataan kualitas diri. Dan yang terpenting bahwa nilai UKG yang dilaksanakan dengan penuh kejujuran, berapapun hasilnya adalah gambaran sesungguhnya tentang kapasitas dan kompetensi kita. Jika hasilnya sudah baik - perlu dipertahankan, disebarkan dan dibagikan kepada rekan yang lain. Sebaliknya jika hasilnya pas-pasan atau masih merasa kurang maka ini adalah momen untuk belajar memperbaiki kualitas dan kompetensi diri. Yang utama bukan berapa tinggi nilainya namun lebih pada dampak selanjutnya untuk proses perbaikan kualitas, kapasitas dan pelayanan, dan inilah yang terpenting.
Jika dilihat dari komposisinya yang berisi 30 % soal pedagogik dan 70 % soal profesional sesuai bidang masing-masing, maka tes tersebut termasuk kategori kognitif (pemahaman) terkait proses pembelajaran dan profesional. Kompetensi yang terukur hanyalah pemahaman, ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada kesehariannya ketika melaksanakan tugas mengajar di dalam kelas. Nilai UKG tinggi, kompetensi benar-benar tinggi, nilai UKG tinggi kinerja rendah, nilai UKG rendah namun cara aplikasi di kelas bagus dan yang terakhir nilai UKG rendah kompetensi dan kemauan juga rendah. Artinya jangan mengambil nilai UKG sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai kompetensi guru. Ada pengukuran bidang lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan dan perlu terus dikembangkan.
Pengukuran kompetensi, kualifikasi dan standarisasi sangat penting adanya. Walaupun seseorang telah merasa berpendidikan tinggi, merasa ahli, merasa senior, merasa kaya pengalaman dan merasa memiliki wawasan yang sangat luas, ia tetap butuh suatu pengukuran yang akurat atas kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya. Seperti halnya contoh nyata di bidang bangunan, tukang batu/kayu yang berpengalaman adalah tukang profesional, ia mampu menaksir biaya untuk membuat sebuah rumah, ia bisa hafal formula tentang struktur membuat beton bertulang, namun ia masih membutuhkan lot (benang gandul) untuk mengecek ketegak-lurusan, ia masih menggunakan waterpass untuk mengontrol kerataan posisi horisontal atau vertikal serta masih menggunakan meteran untuk mengukur panjang. Hal ini tak jauh berbeda dengan guru, sepandai apapun, pengalaman sebanyak apapun dan seprofesional bagaimanapun, dia tetap membutuhkan alat bantu untuk mengukur dirinya. Bagi guru banyak aspek dan komponen yang bisa diukur untuk mendapatkan kategori sangat baik, baik, cukup atau kurang.
Banyak alat ukur kemampuan dan kinerja seseorang, namun tak akan kita bahas di sini. Namun ada satu hal yang paling mudah dilakukan yaitu dengan survey / kuisioner terhadap kepuasan pelanggan terhadap produk dan jasa. Nah pekerjaan seorang guru dapat dimasukkan dalam kategori jasa yang juga bisa diukur dengan survey kepuasan pada siswa. Hasil survey yang kami lakukan pada tahun 2014 hasilnya cukup signifikan dan melambangkan kondisi sebenarnya. Untung saja tidak pernah ada piala atau tropi bagi prestasi terendah atau kinerja terburuk, karena akan berdampak buruk terhadap nama baik dan kredibilitas seseorang. Dari sebaran data yang terkumpul dari responden (siswa kelas IX) secara jelas menggambarkan bahwa seorang guru yang dianggap baik, pavorit dan memuaskan adalah mereka yang mempunyai jiwa ideal seorang guru, yang kehadirannya sangat dinantikan, disambut dengan suka cita, yang jika tidak hadir terasa ada yang kurang atau hilang. Pepatah mengatakan “Ada asap ada api”, artinya ada sebab musabab (sebab akibat) ketika muncul penilaian baik atau buruk, disenangi atau dibenci, dihormati atau diacuhi.
Siswa adalah alat ukur yang sangat akurat bagi guru. Siswa adalah saksi hidup, catatan hidup dan rekaman hidup yang menyimpan semua hal tentang gurunya. Siswa tahu betul apakah gurunya sekedar mengajar atau sekedar hadir di kelas. Siswa dapat merasakan siapa yang benar-benar mendidik dengan melibatkan hati, siswa juga sangat paham siapa yang membimbing dan memperhatikan dengan segenap kasih sayang. Siswa bisa hafal bagaimana kebiasaan gurunya di kelas maupun di luar kelas. Maka jangan heran jika ada siswa yang bisa menirukan gaya dan bahasa gurunya dengan sangat mirip, karena rekaman memori mereka.
Benar apa yang disampaikan Pak Ronto, kalau sekedar menjadi guru yang mengajar itu mudah. Masuk kelas, ngomong cas-cis-cus, ba-bi-bu, perintah ini itu, larang begini begitu atau harus begini begitu. Lebih parah lagi jika banyak tuntutan, minta fasilitas ini dan itu, biaya ini dan itu, namun tidak diimbangi dengan prestasi dan kinerja yang memadai. Membandingkan dengan sekolah lain itu bagus, namun bukan hanya dalam hal fasilitas dan hak guru. Tanggung jawab, profesional, kinerja serta pelayanan juga harus dilaksanakan dengan penuh dedikasi. Jika melihat fakta dan kisah di atas, ternyata Indonesia bukan hanya Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya atau Wonosobo, demikian juga dengan sekolahnya. Ada juga sekolahyang di perbatasan negara (tapal batas), ada yang di pedalaman yang sangat jauh dari ramainya pemukiman. Mereka, saudara kita yang jadi guru di perbatasan, baik yang PNS maupun guru tidak tetap, guru penuh perjuangan, gaji tidak seberapa, komunikasi sulit, transportasi susah, fasilitas sangat minim dan memprihatinkan. Namun jiwa perjuangan mereka luar biasa, ketulusan mereka tak terkira dan pengorbanan mereka tak terukur dan tak terbilang jumlahnya.
Bila kita mau sedikit saja membuka mata, membuka telinga dan membuka hati, maka kita akan banyak instropeksi diri. Betapa kita berlimpah kemudahan, berlimpah fasilitas dibandingkan mereka yang lebih berat perjuangannya. Menjadi pribadi jujur dan sportif adalah pilihan, karena pada semua hal jujur bisa dilakukan, demikian juga untuk berbuat curang ada seribu jalan. Kita harus sadar bahwa kita sebagai guru punya tugas mulia, bukan sekedar guru yang mengajar, namun guru yang mendidik dengan sepenuh hati. Tunjukkan kinerja dan karya terbaik kita. Jangan manja, jangan banyak mengeluh, jangan banyak menuntut dan jangan jarkoni. Guru yang menjunjung tinggi kejujuran dan sportif baik bagi siswa juga dirinya. Guru inovatif yang mampu berkarya dengan kondisi yang ada. Jadikan diri kita lentera bagi siswa, pribadi yang penuh perhatian dan kasih sayang serta sumber inspirasi bagi masa depan mereka. Selamat berkarya, semoga kerja kita bernilai ibadah. <35435>