Kamis, 21 Mei 2015

Lentera Hikmah -3 : Antara Jenang dan Jeneng, Mencari Mana yang Lebih Utama, Falsafah Jawa Yang Ternyata Sangat Adiluhung

Salah satu falsafah yang sering disampaikan oleh orang tua dan bijaksana "Ngunduh wohing pakarti", - tumindak olo lan becik iku sejatine mung kanggo awak'e dewe, manungso bakal ngunduh wohing pakarti, opo seng di tandur yoiku seng bakal thukul lan kang bakal di unduh, di ibaratke nandur pari bakal thukul lan ngunduh pari, nandur telo bakal thukul telo yo ngunduh telo. Secara sederhana falsafah tersebut bisa diartikan "Menuai hasil perbuatan sendiri". Maksudnya perbuatan baik atau buruk pada dasarnya untuk dirinya sendiri. Apa yang kita rasakan saat ini, atau yang akan dikumpulkan dan dirasakan ketika kita tua nanti sebenarnya adalah hasil dari perbuatan kita pada tahun-tahun sebelumnya.

Dalam tatanan jawa tenyata sangat banyak falsafah yang sangat bagus dan menjadi tatanan untuk menjadi manusia utama. Kata-katanya singkat namun sarat dengan makna, apabila kita mau menelaah dan mengambil untuk menjadi salah satu pegangan maka aka menjadi perisai untuk menjaga sikap dan perilaku kita dalam kehidupan sosial menjadi lebih aman dan nyaman. "Becik ketitik, ala ketara", "Sapa sing salah bakal seleh", "Ojo sok rumongso biso nanging bisoho rumongso", "Ajining dhiri gumantung kedaling lathi - Ajining salira saka busana", "Kakehan gludhug kurang udan", "Wani ngalah luhur wekasane", "Sing medhit bakal kejepit", "Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah", dan lain-lain.

Alhamdulillah, tulisan seri Lentera Himkah yang ke-3 dapat kami mulai, yang untuk kali ini mengambil tema tentang falsafah jawa "Jenang - Jeneng". Jenang adalah sejenis makanan seperti bubur yang terbuat dari tepung (tepung beras, tepung ketan, ataupun tepung dari singkong yang bernama pathi kerut). Jeneng diartikan nama. Falasafah yang sering ada terkait jenang - jeneng ini antara lain adalah "Golek jeneng nembe golek jenang" dan "Yen ngoyak jeneng kowe mesti bakal entuk jenang. Nanging yen ngoyak jenang kowe bakal kelangan jeneng". Kedua falsafah tersebut semakna, seiring sejalan dan punya kandungan tujuan yang sama yaitu mengutamakan jeneng daripada jenang. Apa maksudnya ?

Falsafah yang kedua secara harafiah dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Jika kamu mengejar nama, niscaya kamu juga akan mendapat jenang. Tetapi jika mengejar jenang, maka kamu akan kehilangan nama”. Jenang merupakan salah satu jenis makanan, maka jenang dalam falsafah ini digunakan untuk menyebut atau mengasosiasikan “makanan” atau “pangan”. Jaman dulu sekali, jenang bagi orang Jawa adalah makanan yang istimewa yang hanya disajikan untuk momen-momen spesial (pesta pernikahan, syukuran kelahiran anak, upacara ganti nama, dll), maka jenang dalam hal ini merupakan simbol pesta, kemewahan, harta. Sedangkan jeneng yang dimaksud adalah kepercayaan, reputasi, nama baik, kehormatan baik diri maupun keluarga.

Secara keseluruhan falsafah  jenang itu mengandung arti bahwa ketika seseorang berusaha mengumpulkan kepercayaan dari pihak lain dengan jalan bertindak jujur, loyal, dedikasinya baik, maka dengan sendirinya harta itu akan datang dengan sendirinya. Namun ketika seseorang hanya mengejar harta saja, sampai menghalalkan segala cara termasuk mengorbankan kejujuran, maka justru dia akan kehilangan nama baik yang telah ada padanya.

Mengapa ini penting, karena saat ini bisa kita lihat di kehidupan sosial dari wilayah kecil tempat kita bekerja, di masyarakat hingga di tataran negara, banyak kejadian yang bisa kita ambil pelajaran. Banyak orang yang menjadi pejabat penting dan terhormat - mulai dari menteri, anggota dewan, kepala daerah, kepala instansi, hingga pegawai kecil - akhirnya jatuh terpuruk, namanya hancur lebur karena masalah jenang, masalah harta, masalah uang. Artinya ketika seseorang hanya berorientasi harta atau termotivasi tumpukan uang kemudian  mempertaruhkan kepercayaan, reputasi, nama baik dan kehormatan maka yang dihasilkan justru kehancuran masa depan diri dan keluarganya.

Kesimpulan akhirnya menjadi pegawai dan karyawan yang profesional, memiliki integritas, penuh dedikasi dan bisa memuaskan konsumen, siswa dan masyarakat adalah salah satu bukti telah berbuat untuk sebuah JENENG yang identik dengan kepercayaan, nama baik, reputasi dan kehormatan. Bu Isti dan Pak Bagus menjadi guru terajin, Bu Rini dan Pak Eko menjadi guru ter-ramah, Bu Ruti dan Pak Kardan menjadi guru terbaik, serta predikat-predikat baik lainnya adalah salah satu bentuk penghargaan (award) atas kinerja, sikap profesionalisme, integritas dan dedikasi yang dituangkan dalam bentuk penilaian baik oleh siswa. Hal sejenis perlu dijadikan media koreksi dan instropeksi bagi semua pihak untuk menjadi lebih baik dan lebih maju.

Iklim untuk menjadi yang terbaik sangat perlu ditumbuh-kembangkan. Nuansa pemberian award dan penghargaan sangat baik untuk melahirkan insan-insan terbaik di lingkungan kita, baik untuk guru, karyawan ataupun siswa. Tak perlu banyak pertimbangan terkait pendapatan materi, toh sebenarnya secara resmi kita semua sudah digaji lebih dari cukup, bahkan berlebih bagi yang PNS dan sudah bersertifikasi. Untuk hasil yang bersifat materi, insya-Alloh akan datang mengikuti ikhtiar dan usaha yang telah dilakukan. Takkan lari gunung dikejar, begitu pula dengan rejeki, harta dan uang yang diidentikkan dengan JENANG. Demikian, semoga bermanfaat, selamat beraktifitas, semoga sukses, Amin <30820>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar