Bagi yang berminat untuk download suara adzan dari Muadzin Cilik Bule pada acara OVJ Trans 7 dapat klik tautan berikut. Download Adzan Cilik Bule OVJ Trans 7.
Sebagai pembuka ijinkan penulis bercerita, beberapa minggu yang lalu penulis bertanya kepada salah satu murid pria apakah dia sholat, ia menjawab tidak sama sekali, maka penulis katakan, "Sungguh itu terlihat di wajahmu, sholatlah maka wajahmu akan terlihat bersih dan bercahaya". Wajahnya yang kusam dan terlihat kotor biasanya karena tidak pernah tersentuh air wudhu dan tidak pernah dipakai sujud. Dan secara umum di banyak kelas terjadi demikian, banyak siswa yang belum menjalankan sholat. Sebagai pembanding kita bisa melongok, di tempat lain, di cerita lain yang terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu penulis bertemu seorang kakak beradik dalam suatu sholat Jum’at di Masjid Miftakhul Huda, Prembulan Tegalarum Borobudur. Sang kakak - yang seumuran kelas 7 atau 8 SMP - langsung mengajak bersalaman dengan disertai cium tangan pertanda khidmat (hormat), pada kami yang sama sekali belum dikenalnya. Wajahnya terlihat bersih, tatapan matanya teduh, nampak sekali sikapnya yang ramah, sopan dan penuh rasa santun. Dan di balik sikap tawadhuknya tersirat lautan ilmu, namun ia tetap rendah hati, tak sedikitpun nampak rasa sombong, acuh tak acuh atau rasa eksklusif. Hal inilah yang membuat rasa kagum dan tertegun dengan remaja yang istimewa ini, di saat sekarang sangat jarang dijumpai remaja dengan pribadi yang seperti ini. Rasa kagum akan sikapnya yang sopan, santun dan hormat pada orang lain, terutama pada yang lebih tua, menjadi inspirasi tersendiri. Betapa bahagia dan bangga orangtuanya memiliki buah hati yang demikian. Saya yakin tak satupun orang tua atau yang merasa lebih tua yang tidak mendambakan anak dengan pribadi yang utama seperti di atas.
Di tengah kondisi pendidikan yang terus berganti regulasi dan kurikulum, satu hal yang tidak boleh ganti adalah tujuan pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sangat tepat dan sejalan dengan realita di atas, maka kali ini secara spesifik membahas rumpun ilmu humaniora, humanis atau kemanusiaan. Jika pada rumpun bahasa adalah kunci ilmu, rumpun saint / eksak adalah dasar/pokok ilmu, maka humaniora / humanis adalah ruhnya ilmu, yang berisikan pendidikan budi pekerti, ruhani dan norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Maka keberadaan rumpun ilmu humaniora ini sangat dibutuhkan peranan, eksistensi dan aktualisasinya dalam dunia pendidikan di manapun dan di tingkat apapun. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Agama & Budi Pekerti (PABP) dan Ilmu Pengetahuan Sosial mempunyai ruang lingkup yang berbeda, namun bermuara pada hal sama, yaitu norma yang berisi keutamaan dan kemuliaan. Tidak ada pertentangan antara satu dengan yang lain.
Terus terang saja, di era komunikasi global, di tengah kondisi yang serba terbuka dan penuh dengan dekadensi moral maka untuk mendidik anak-anak, terlebih remaja adalah pekerjaan yang tidak mudah, bahkan boleh dikatakan sulit. Di sisi lain, pendidikan yang berisikan kebaikan dan kemuliaan tidak serta merta dapat langsung disaksikan hasilnya. tantangan terasa menjadi beban tersendiri bagi guru yang bersangkutan, terutama ketika nilai-nilai kebaikan yang diajarkan tidak langsung dilaksanakan oleh siswa dengan berbagai alasan. Banyak guru, terutama mapel rumpun humaniora mengeluhkan sulitnya pembelajaran dan transformasi ilmu tentang norma, adab dan aturan kepada murid, terlebih dalam praktik kehidupan sehari-hari. Seperti ilmu tingkat dewa yang hanya ada di angkasa, laksana bunga indah namun tak kunjung berbuah, atau memelihara hewan yang dagingnya tak enak dimakan. Ilmu tentang keutamaan, norma dan kesusilaan seakan hanyalah teori yang jauh dari aplikasi, impian yang jauh dari harapan. Maka dibutuhkan inovasi agar rumpun ilmu ini dapat diajarkan secara terintegrasi, sehingga antara teori dan aplikasi dapat terwujud satu sistem yang terpadu. Inilah tantangan, dan dalam setiap tantangan ada kesempatan untuk meraih harapan.
Secara teori, pembentuk pribadi anak, terutama remaja terdiri pada tiga lingkungan yaitu, rumah, masyarakat dan sekolah. Pengaruh ketiganya pada masing-masing anak berbeda kondisinya, sangat tergantung dengan intensitas dan kualitasnya. 1) Rumah, inilah domain orangtua dalam memberikan pendidikan jati diri, pengisian ruhani dan pembentukan pribadi pada setiap anak. Orangtua memiliki kewenangan dan otoritas penuh dalam pembentukan jiwa dan pribadi anak. Faktor ekonomi, budaya, rohani dan pendidikan orang tua turut berpengaruh, namun faktor budaya dan rohani adalah yang paling besar pengarunya dalam pembentukan pribadi. 2) Masyarakat, inilah domain masyarakat yang sangat heterogen, baik kultural, ekonomi dan pendidikan. Pada situasi tertentu lingkungan sosial sangat dominan, mencapai hampir 80% pembentuk kepribadian remaja. Teman sebaya dan teman senior punya pengaruh yang sangat kuat dalam proses perubahan kejiwaan. 3) Sekolah, inilah domain pendidik, pengajar dan pembimbing di sekolah. Inilah lingkungan terbaik dan paling kondusif untuk pembentukan pribadi anak-anak dan remaja. Keberadaan guru yang dianggap mempunyai kharisma, keilmuan, psikologi dan kewenangan penuh dalam area sekolah adalah modal utama yang sangat ampuh. Perintah dan ajakan guru secara absolut (mutlak) akan dilakukan dan diikuti oleh siswa.
Dalam tataran aplikasi dalam dunia pendidikan, maka gabungan ketiga lingkungan menjadi satu sistem adalah lingkungan yang terbaik dalam pembentukan pribadi remaja. Inilah yang diterapkan oleh lembaga pendidikan dengan pola asrama (boarding school), karena ketiga lingkungan yang sudah didesain dalam satu sistem dan kultur yang kondusif. Banyak sekolah baik negeri maupun swasta yang sudah menerapkan pola asrama, untuk wilayah sekitar kabupaten Magelang contohnya SMA Taruna Nusantara, SMP-SMA Nurul Fikri, SMA Van-Lith Muntilan dan banyak pondok pesantren baik yang modern (PPM) atau yang klasik. Di kota lain semisal Bogor, Bekasi, Banten, Jakarta, Yogyakarta hingga Surabaya banyak sekolah sejenis dengan ragam, kelebihan dan keunggulan masing-masing. Pola asrama ini juga diterapkan pada sekolah yang tergolong lembaga kedinasan. Dan yang mengherankan justru banyak orangtua murid yang berminat untuk mendaftarkan putra-putri mereka pada sekolah berasrama, yang sudah barang tentu lebih mahal, tidak lain mereka ingin agar anaknya bisa belajar pada sekolah yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi semata, namun lebih kepada penempaan diri pribadi yang lebih unggul karena pendidikan di sini tidak hanya pagi sampai siang, namun 24 jam dari pagi sampai pagi lagi. Bisa dibayangkan beratnya perjuangan dalam pendidikan yang jadwalnya penuh dengan aturan yang sangat ketat.
Untuk sekolah umum (non asrama) kita bisa mencoba belajar dari kampus salah satu PTN di Yogyakarta. Bila pembaca memasuki kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SUKA), di halaman depan akan langsung melihat papan / plakat bertuliskan “Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga”. Sebuah kata yang simpel namun sarat makna, masjid di kampus ini yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ritual peribadatan, namun sebagai laboratorium aplikasi dalam seluruh aspek kehidupan beragama. Belajar dari UIN SUKA, maka kita juga bisa menerapkan dan mengembangkan masjid / mushola yang ada di sekolah sebagai Laboratorium Agama yang bisa digunakan sebagai ruang utama praktek pembelajaran agama dan pembentukan karakter siswa. Melalui Laboratorium Agama masjid / mushola sekolah ini, guru bisa mengajarkan pada siswa untuk mendekat dan bersentuhan langsung dengan pembelajaran praktik yang membuat mereka dekat dengan Alloh, dekat dengan sesama dan merasakan makna hidup yang sebenarnya. Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi untuk dibuat kesimpulan tulisan kali ini, secara sederhana kami uraikan sebagai berikut:
- Propaganda kebaikan, bahwa kebaikan dan keutamaan harus terus didengungkan dan dijadikan program yang harus diaktualisasikan - walau dari sedikit demi sedikit, dan harus dijalankan - walau hanya setapak demi setapak. Siswa SMP yang tergolong usia remaja umumnya masih labil dan sangat butuh perhatian, maka untuk menanamkan kebaikan harus kerap diingatkan, senantiasa disuruh, sering diajak serta tidak bosan diajari dalam melakukan suatu kebaikan, ibaratnya untuk menyuruh minum obat 3 kali sehari ya harus 3 kali diingatkan, 3 kali diajak dan 3 kali ditemani untuk minum obat, agar anak benar-benar minum obal 3 kali dalam sehari.
- Hidupkan Laboratorium Agama Masjid Sekolah, dengan cara mengajak mereka melakukan sholat, minimal sekali dalam sehari yaitu sholat dhuhur berjamaah. Insya-Alloh akan berdampak positif, dalam proses pembinaan mental dan kepribadian siswa akan menjadi lebih mudah. Manfaat sholat berjamaah bersama siswa bagi guru diantaranya menjadikan guru lebih tawadhuk, lebih berbobot, lebih bersih dan bercahaya, lebih kharismatik dan kondisi emosi lebih tenang, hal ini akan menambah rasa khidmat (hormat) siswa pada guru. Di masjid itu tidak ada kasta atau derajat, murid bisa duduk sejajar dengan guru, rakyat sebaris lurah, tukang sayur boleh berdiri di shof lebih depan dari kepala KUA dan seterusnya. Pelajaran berharga dalam sholat berjamaah adalah semua sama sebagai hamba yang rukuk dan sujud pada Alloh semata. Maka jangan ragu, mari sukseskan program ini untuk menjadi lebih baik, Prinsipnya : "Jagalah sholat, walaupun kita bukan orang yang baik, kelak, sholat itulah yang akan membuat kita menjadi baik".
- Field Study, bagian penting dalam pembelajaran PKn dan IPS. Laboratorium PKn dan Laboratorium IPS. mutlak dibutuhkan untuk tegaknya norma sosial berbangsa dan bernegara, sebagaimana praktik di laboratorium matematika gaya Pak Eko Sarwono dan praktikum di laboratorium IPA ala Bu Dyah Purwaningrum. Laboratorium PPKn di SMPN 1 Bantul bisa menjadi contoh dan acuan, begitu pula Laboratorium IPS bisa berinovasi dengan bentuk dan wahana yang lebih sesuai. Pada prinsipnya belajar tidak terbatas hanya di kelas, tetapi juga di luar keas seperti kegiatan field study, artinya siswa pergi ke sebuah desa dan belajar peduli kehidupan desa, atau kunjungan ke kantor desa, kecamatan, puskesmas atau lembaga sosial dan kemasyarakatan (laboratorium sosial) seperti yang pernah dilaksanakan oleh salah satu guru IPS di sekolah ini beberapa tahun yang lalu.
- Pembiasaan (habituation), perilaku baik atau buruk terbentuk oleh kebiasaan yang dibentuk oleh pembiasaan. Siswa yang berkata jorok, bersikap buruk dan tidak punya sopan santun karena ia terbiasa berada dalam lingkungan yang serba boleh, dimana keburukan dibiarkan saja tanpa kendali yang berarti. Sebaliknya mereka yang santun karena terbiasa dalam kondisi yang kondusif untuk banyak melakukan kebaikan-kebaikan. Norma-norma baik agama, susila maupun sosial memang harus selalu diajarkan, ditegakkan dan dijunjung tinggi sebagai hal utama, oleh karena perlu dilakukan proses inovasi, kreasi dan modifikasi lingkungan agar kondusif.
- Butuh totalitas, tidak tanggung-tanggung, setengah hati atau menggantung. Kesuksesan program hanya bisa diwujudkan bila telah dicoba, dievaluasi, disempurnakan dan ditindak lanjuti. Faktor keteladanan sangat berpengaruh dan memegang peranan penting, guru yang hanya menyuruh akan berbeda efeknya dengan yang mengajak, menunggui, mengajari dan membimbing serta memberi penguatan. Untuk prinsip ini jangan takut di depan, jangan enggan menjadi pioner, jangan malas menjadi penyeru agar jangan dikatakan "gedhang uwoh pakel" yang artinya "omong gampang nglakoni angel". Jangan sampai kita menyuruh anak-anak untuk sholat jamaah dan melakukan kebaikan-kebaikan namun kita tidak turut serta melaksanakan dan ikut serta menjaganya. Di tahun-tahun awal guru harus rela hadir mengecek kelas, menggiring dan mengajak mereka hingga ke tempat sholat. Pastikan kita hadir dan ada di antara mereka, karena memang mereka butuh kehadiran kita, ajakan kita, sentuhan kita dan teladan kita.
Kata kunci tulisan ini adalah upaya membentuk karakter siswa dengan akhlak terpuji, yang ditandai dengan taat kepada Alloh SWT, hormat, sopan dan santun kepada guru, orang tua dan orang yang lebih tua. Inilah kondisi ideal yang diidamkan setiap orang tua siswa dan masyarakat. Untuk membentuk sekolah seperti itu memang tidak mudah, tidak semudah membalik telapak tangan, namun tanpa ada cita-cita dan usaha maka mustahil terwujud dengan sendirinya. Semua kembali pada besarnya usaha, bila ada sekolah lain yang bisa, maka sekolah kitapun bisa. Demikian, tulisan tentang rumpun humaniora (sosial) yang bagian akhirnya justru dapat kami selesaikan ketika kondisi badan sedang kurang sehat setelah 4 hari opname (di rumah sendiri). Tulisan ini agak panjang karena memang butuh agak banyak uraian dan pengembangan, semoga bisa menambah wawasan, pandangan dan yang terpenting semangat untuk siap menjadi pasukan pendukung dalam penegakan norma dan aturan di sekolah agar teruwujud sekolah yang kondusif sebagai kawah candra dimuka bagi siswa-siswa di wilayah Kepil dan sekitarnya. Selamat beraktifitas, selamat berkarya, semoga sukses. <61769>