Rabu, 07 Desember 2016

Moratorium UN Tidak Disetujui - Kesempatan Berbenah Diri Memperbaiki Kualitas

Wacana penghapusan UN (moratorium UN) yang sempat diluncurkan oleh Mendikbud beberapa hari lalu sempat menjadi perbincangan hangat, baik dari kalangan akademisi, kalangan elit politik hingga kalangan masyarakat biasa, baik yang pro maupun yang kontra. Berbagai alasan yang menjadi dasar pertimbangan Mendikbud menyampaikan wacana penghapusan UN antara lain; 1) UN tidak berperan ketika siswa-siswi mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dengan alasan itu dia berpendapat UN tidak dipertahankan. 2) "Orientasi pada UN akan membuat reduksi mata pelajaran lain. Sekarang sekolah-sekolah sudah fokus anak didiknya disiapkan hanya untuk UN. Yang lain dianggap enggak penting. 3) Pertimbangan lain soal digunakannya pilihan ganda untuk menguji siswa. Pilihan ganda atau multiple choice itu tidak mengajarkan siswa berpikir kritis. serta 4) "UN juga dianggap hanya menguji ranah kognitif dan beberapa mata pelajaran saja. Akibatnya cenderung mengesampingkan hakikat pendidikan untuk membangun karakter, perilaku, dan kompetensi,

Moratorium UN Tidak Disetujui
Hal yang dipadang baik belum tentu dianggap baik dan tepat oleh setiap orang. Kewenangan pendidikan memang ada di tangan Mendikbud, namun keputusan akhir tetap berada di bawah kendali Presiden atau Wakli Presiden sebagai pemilik kekuasaan mutlak di negeri ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pemerintah tidak menyetujui rencana moratorium ujian nasional (UN) yang digagas Mendikbud Muhadjir Effendy. Usulan moratorium UN diminta dikaji ulang. "Ya hasilnya usulan moratorium itu tidak disetujui, tapi disuruh (juga) kaji ulang," ujar Wapres JK di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2016). Keputusan menolak usulan moratorium UN ini disampaikan JK setelah rapat kabinet paripurna bersama Presiden Joko Widodo. Usulan moratorium UN menjadi salah satu topik pembahasan.

JK menjelaskan, pemerintah untuk saat ini masih menilai UN dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan dan evaluasinya. "Tanpa ujian nasional bagaimna bisa mendorong bahwa kita pada tingkat berapa, dan apa acuannya untuk mengetahui bahwa dari ini kemudian nanti tanpa ujian nasional," kata JK. "Harus dengan soal yang hmpir sama harus diketahui, oh Jawa begini, Sulawesi begini, kalimantan bagaimana. Baru bisa. Kalau tanpa itu bagaimana caranya?" sambung JK. Karena itu, Kemendikbud sambungnya harus mendorong hasil maksimal dalam UN dan mengukur perbandingannya dengan sistem penilaian kelulusan di negara-negara lain.

Wakil presiden Jusuf Kalla menambahkan, "Hampir semua negara di Asia itu ujian nasional semua, apalagi di ASEAN. Di ASEAN semuanya China, India, Korea, cuma Jepang saja hanya ujian masuk perguruan tinggi, yang lainnya ujian nasional semua dengan ketat," jelasnya. Menurut JK, tanpa UN, daya saing dan semangat anak-anak untuk belajar akan kendor. Tapi pemerintah juga mengkaji sistem penentuan kelulusan untuk efektivitas UN. "Jadi usulan tadi tidak diterima, tapi disuruh kaji dan secara perbandingan lebih dalam lagi untuk memperbaiki mutu," kata JK.

Tambahan penulis dari hasil audiensi dengan beberapa guru, terutama guru mapel UN selaku subyek yang banyak berkiprah  dengan siswa dalam mepersiapkan UN menilai jika UN masih sangat diperlukan. Bagi sekolah maju mungkin UN sudah tidak berpengaruh signifikan, karena secara umum motivasi belajar siswa sudah bagus dan mereka sudah sadar sepenuhnya bahwa mereka harus mempersiaipkan dan memposisikan diri untuk memperoleh hasil yang maksimal untuk kelanjutan studi mereka di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Akan berbeda dengan sekolah yang masuk kategori taraf berkembang, di mana kondisi yang jauh  berbeda dengan sekolah maju. Adanya penentuan kelulusan berdasar nilai UN masih mendominasi dan menjadi motivasi utama mereka untuk mau belajar, berusaha belajar dan sebatas meraih predikat LULUS. Dengan penentuan kelulusan oleh sekolah saja semangat dan motivasi siswa turun drastis, seakan cuek dan tidak mau susah-susah belajar agar lulus, karena toh pasti lulus, lha bagaimana jika UN ditiadakan pasti kondisinya akan bertambah parah.

Secara teori memang UN tidak tepat karena tidak tepat (tidak boleh) meng-generalisasi dan mengukur pendidikan pada wilayah, sarana dan sebaran SDM berbeda dengan alat ukur yang sama. Kondisi wilayah, ragam budaya dan tingkat ekonomi yang berbeda membawa pengaruh yang berbeda pada kualitas pendidikan. Namun begitu tetap dibutuhkan satu bentuk evaluasi yang standar yang berlaku secara umum dan nasional, karena tanpa adanya wahana yang menjadi tolok ukur standar, pasti kondisi akan jauh lebih rendah dari yang diharapkan. Tiap sekolah akan cenderung membuat aturan sendiri, membuat standar sendiri dan membuat pola sendiri yang cenderung tidak terkendali. Sebagai pendidik dan pelaksana, maka sikap kita yang terbaik adalah melaksanakan sesuatu yang sudah menjadi keputusan oleh pemilik dan pemegang kekuasaan manajemen pendidikan di negeri ini. Amanah untuk mendidik dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan adalah hal yang utama.

Semoga dengan diurungkannya rencana moratorium UN ini justru akan memberi kesempatan banyak sekolah untuk berbenah diri dalam berbagai bidang, sehingga sekolah tidak hanya berorientasi pada nilai UN semata yang berorientasi pada angka, namun lebih kepada konten pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pada pembinaan mutu pendidikan yang diiringi dengan berkembangnya karakter yang lebih baik. Tentu saja untuk mewujudkan sekolah dengan nuansa pendidikan karakter harus dimulai dari penjiwaan kalangan akademisi tentang pentingnya karakter pada diri pendidik agar proses transfer ilmu juga dilingkupi dengan tauladan dari pribadi yang berkarakter. <60877>.
Selamat beraktifitas, semoga sukses.