Semenjak penerapan Kurikulum 2013 (K-13) mata pelajaran TIK hilang entah kemana, khususnya sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah pilot (percontohan). Berbagai pernyataan dan komentar muncul dari berbagai kalangan mulai pejabat pemerintah, pegawai instansi, aktivis organisasi, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, pemerhati pendidikan hingga masyarakat umum. Latar belakang yang berbeda-beda melahirkan pernyataan yang berbeda-beda pula. Pemerintah berharap hilangnya mapel TIK dan KKPI dari kurikulum sekolah menengah sudah tidak menjadi polemik. Pemerintah dalam hal ini kemendikbud beranggapan bahwa yang menjadi polemik telah terselesaikan dengan baik. Pertama, hilangnya mapel TIK karena TIK melebur ke dalam semua mata pelajaran, dengan harapan semua guru harus menguasai TIK. Kedua, peran guru TIK tidak hilang namun lebih dimaksimalkan dengan menjadi pembimbing bagi siswa, guru dan tenaga kependidikan.
Saya sebagai guru TIK di sekolah berkurikulum K-13 benar-benar dapat merasakan dampak hilangnya TIK sebagai mapel. Sebagai guru TIK yang dialihfungsikan menjadi guru Prakarya adalah hal baru dan sangat berbeda, walau dijalani namun rasanya tanpa penjiwaan. Baru pada awal tahun ke-3 TIK mulai menampakkan sungutnya dengan judul baru “bimbingan TIK”. Saat hari pertama masuk kelas IX dengan materi bimbingan TIK, saat itu pula saya menyadari betapa TIK menjadi sesuatu yang sangat asing bagi siswa, mereka sangat jauh dari kata teknologi. Jangankan aplikasi pengolah angka atau presentasi, sekedar mengetik dengan aplikasi pengolah kata saja banyak yang belum mengalami. Dengan adanya bimbingan TIK sudah sedikit lebih baik, namun dengan hanya 1 jam/minggu atau hanya 5 kali pertemuan persemester maka sangat kurang dan jauh dari memadai. Apa jadinya jika TIK benar-benar tidak diajarkan di sekolah, maka mereka tidak punya kesempatan lain untuk belajar TIK, khususnya yang di pedesaan, pedalaman dan perbatasan. Secara nasional berapa jumlah siswa yang sudah benar-benar melek dan menguasai TIK, berapa jumlah orang tua siswa yang kaya raya hingga mampu membelikan alat komunikasi modern. Lebih besar mana jumlahnya dengan siswa dari kalangan bawah yang hanya bisa belajar TIK dari sekolah.
Dalam 2,5 tahun ini implementasi K-13 baru dilaksanakan di sekolah pilot proyek, belum dilaksanakan pada semua sekolah. Sebagai contoh di kabupaten Wonosobo sekolah pilot proyek K-13 hanya ada 6 sekolah dari sekitar 130 sekolah SMP/MTs, artinya hanya sekitar 5%, sisanya yang 95% masih menggunakan kurikulum KTSP. Dengan hanya sekitar 5% kondisi sudah seperti ini, banyak penolakan terhadap permen 68/2014 dan 45/2015, banyak tuntutan untuk mengembalikan TIK sebagai mapel. Bisa dibayangkan jika 100% sekolah menggunakan K-13 dan mapel TIK dihilangkan, pasti gejolak yang timbul akan bertambah 95%. Akankah pihak pemegang kewenangan (puskur) tetap “ngotot”, tetap “keukeh” hendak menghilangkan mapel TIK menjadi bentuk lain yang jauh lebih buruk dampaknya. Untuk mempersiapkan siswa menjadi generasi emas, diperlukan kepekaan dan responsif dengan apa yang terjadi. Jika alasan TIK tidak perlu diajarkan dan bisa belajar sendiri, maka Penjaskes, Seni, Agama, IPS dan mapel lainnya bisa dilakukan tanpa pembelajaran khusus. Apalagi jika dihapuskan karena alasan kemudahan tentu mapel bahasa Indonesia yang notabene bahasa sendiri juga akan hilang, lalu apa yang akan terjadi? Bila ditanyakan pada setiap guru dari mapel tersebut, pasti mereka tidak akan rela mapelnya dihilangkan, walau mungkin secara muatan dan isi juga banyak yang tidak up to date.
Beberapa kata berikut mungkin bisa mewakili ungkapan dan harapan siswa, guru dan masyarakat terhadap pemerintah untuk lebih arif dan bijaksana dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
- Sebuah kata hikmah “Bisa jadi sesuatu menurut anggapan kita mudah, kecil dan remeh, tapi bagi mereka yang belum tahu adalah sesuatu yang sulit, besar dan rumit”. Semudah menghidupkan dan mematikan komputer bagi yang sudah tahu, namun bagi yang belum tahu maka sesuatu hal yang sulit bila tidak diajarkan. Begitu juga dengan TIK mungkin adalah hal yang sepele bagi siswa dari orang tua yang serba kecukupan, apalagi bagi pejabat yang berada di lingkungan serba modern. Namun pernahkan terpikirkan bagaimana dengan siswa-siswa di daerah perbatasan, di pedesaan, di lereng pegunungan, di pedalaman dan daerah-daerah yang jauh dari kota dan pusat kota. Memang teknologi komunikasi termasuk internet sudah menjangkau hampir seluruh wilayah negeri ini, dimana hampir setiap siswa memiliki handphone, namun berapa persen dari mereka yang mampu membeli komputer, laptop yang merupakan obyek utama dalam pembelajaran TIK.
- Kondisi realistis lebih akurat daripada kajian teoritis. Bertanya kepada yang benar-benar mengalami maka nuansanya akan lebih mendekati, bertanya pada yang membutuhkan maka rasanya akan lebih menggetarkan. Inilah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab, yang menyamar dan berkunjung langsung pada masyarakat miskin (seorang ibu) yang ternyata kelaparan dan mengatakan “kemana saja Umar yang membiarkan kami kelaparan”, yang selanjutnya Umar memanggul sendiri karung berisi gandum untuk diberikan kepada ibu tua tersebut. Untuk masalah TIK ini maka bertanya langsung pada siswa adalah yang paling bijaksana. Apakah siswa butuh mapel TIK, apakah siswa senang mapel TIK, apakah mapel TIK memenjarakan siswa dan berbagai pertanyaan sejenis yang lain. Untuk analisis dan pentingnya TIK, maka guru TIK-lah yang paling bisa merasakan karena merekalah yang terjun dan berhubungan langsung siswa. Ibarat pertandingan sepak bola, maka yang paling tahu kondisi adalah para pemainnya, bukan penoton atau komentator yang ahli sekalipun.
- Tiga hal menjadi pangkal keburukan yaitu takabur, hasad dan bakhil. Takabur semakna dengan sombong, merasa besar, merasa kuasa dan tak mau mengalah, tak mengakui salah dan tak mau untuk merendah. Hasad adalah dengki yang ujungnya tidak suka melihat orang senang dan tak mau berbuat sesuatu yang membuat orang lain senang. Bakhil sepadan dengan kikir atau pelit, suatu rasa berat untuk memberi, mampu tapi tidak mau. Sebenarnya dengan permen 68/2014 dan permen 45/2015 maka pekerjaan guru TIK menjadi lebih ringan dan lebih sedikit, namun kenapa para guru TIK menolak dan memperjuangkan kembalinya TIK. Tidak lain karena guru pejuang TIK masih punya hati yang tidak hanya memikirkan diri sendiri, namun lebih mementingkan siswa mereka yang membutuhkan TIK kembali. Aki 3 dan Om Jay, pada beliau kita bisa belajar betapa keras, teguh dan tegar perjuangan mereka yang bertajuk SAVE TIK / KKPI, perjuangan mereka yang tak kenal lelah, menguras tenaga, waktu dan biaya. Tak terhitung berapa biaya yang harus dirogoh dari kantong sendiri, demi sebuah harapan besar pada siswa agar terdidik TIK dengan baik. Melihat realita ini masihkah berat untuk membuka mata, susah melebarkan telinga dan enggan melunakkan hati untuk sekedar memenuhi harapan para pegiat dan pecinta TIK/KKPI.
Sebagai penutup tulisan ini, saya sampaikan bahwa pada dasarnya Mapel TIK adalah kebutuhan siswa, pokok dan penting. Mungkin saja 10 siswa kita sudah mahir menggunakan iPad atau Tablet, tapi apakah bisa kita pastikan ribuan siswa lainnya telah mampu dan mahir, atau juga sebatas pernah punya atau bahkan sekedar pernah melihat / memegangnya? Mapel TIK adalah salah satu jalan dan kesempatan bagi siswa untuk bisa belajar berinteraksi langsung dengan teknologi. Negara kita ketinggalan 20 tahun dalam hal perkembangan teknologi, jika mapel TIK dibuang dari kurikulum maka hilanglah kesempatan mereka untuk dapat belajar TIK dengan baik, mau kapan lagi? Akhirnya, semua kembali kepada pusat kurikulum (puskur), hanya doa guru TIK dan siswa-siswi kami "semoga Alloh SWT berkenan membukakan hati para pejabat dan pemilik kewenangan di pusat kurikulum, agar mereka mendengar keluhan kami, melihat kebutuhan siswa kami dan akhirnya melakukan peninjauan kembali untuk bisa mewujudkan TIK kembali menjadi mata pelajaran, Amin".
Apapun posisi kita, baik sebagai orang tua, sebagai pendidik atau sebagai pejabat kita sadari bahwa semuanya adalah amanah. Amanah adalah kepercayaan, amanah adalah titipan dan amanah adalah kemuliaan, maka harus dijaga dengan penuh kemuliaan. Bersikap rendah hati tidak akan merendahkan harga diri, bersikap pemurah tidak akan menjadikan diri kita berharga murah. Sebaliknya bersikap angkuh karena merasa tinggi dan berhati keras karena merasa berkuasa tidak akan membuat kita tinggi yang dimuliakan, tidak akan meneguhkan kita dalam posisi yang mendamaikan. Selamat beraktifitas, semoga kita bisa melakukan yang terbaik sesuai tugas dan kewenangan kita. <38983>
Kunjungi tulisan kami di web kompasiana.com-tik masa depan